Namanya bapak Azwir , kami mengunjunginya pada pertengahan November 2010. Bapak ini adalah salah satu dari ketua kelompok tani di desa Meranti Baru, kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan keramaian. Untuk mencapai tempat ini kami menempuh perjalanan ± 3 jam dari Pangkalan Kerinci (kecepatan ngebut), ¾ perjalanan kami adalah jalan tanah berbatu dan berdebu. Jalan ini banyak memotong bukit-bukit kecil, sehingga profil tanah dapat terlihat jelas di kiri kanan. Kiri kanan jalan adalah kebun akasia (Acacia Mangium) dan sawit (Elaeis guineensis) yang silih berselang. Sesekali kami lihat ada pencetakan batako, usaha yang bagus mengingat tanah setempat terbentuk dari tras berupa tuffa masam, paduan menarik dimana rawa-rawa ditemukan di cekungan-cekungan yang dapat ditemukan pada antiklinnya.
Rumah Pak Azwir menghadap ke sungai Kuala Kampar, muara dari sungai Kampar. Rumah panggung yang sangat sederhana ini telah berdiri pupuhan tahun. Kami duduk di teras rumah dan merasakan sejuknya angin yang menghembuskan daun jambu air yang kala itu (sayangnya) baru berbunga.
Pak Azwir ternyata baru kembali dari sawah (ladang)nya, diseberang sungai. Beliau menggunakan sampan sederhana untuk mencapai sawahnya, di sana, di tengah pulau yang kami ga tau namanya.
Kedatangan kami disambut baik olehnya. Wajahnya sumringah menyambut kami. Jika sudah begini aku jadi ikut senang.
Pak Azwir adalah ketua kelompuk tani terbaik (menurut penyuluh tani setempat), beliau membawahi 15 orang anggota petaninya. Lokasi sawahnya ya ditengah pulau itu. Luas sawahnya mencapai 600 Ha yang dikelola oleh 20 kelompok tani. Kepemilikan sawah petani di pulau itu 1-2 Ha.
Alasan kenapa mereka berladang di tengah pulau adalah alasan teknis yang sederhana, namun komplek secara birokratis.
“Di pulau itulah kami akan aman dengan keberadaan sawah kami, kami pernah mengelola sawah (yang dicetak oleh kecamatan setempat sehubungan dengan program OPRM) di darat (begitu dia menyebut dataran Riau) namun, baru 2 kali kami kelola, sawah tersebut diambil alih oleh suatu PT sebagai bagian dari kawasan perkebunannya”
“Sungai ini mungkin tidak terlalu lebar untuk ditempuh oleh sampan kecil, tapi kadang kami tidak bisa nyebrang kalau sungai sedang pasang, terlebih lagi kami takut dengan adanya Bono”
Bono adalah alunan gelombang besar yang terjadi bersamaan dengan pasang naik dan pasang surut dengan ketinggian puncak gelombangnya mencapai 4-6 meter. Rentangan gelombang tersebut hampir selebar sungai Kampar. Gelombang ini terjadi akibat benturan tiga arus air yang berasal dari Selat Melaka, Laut Cina Selatan dan Aliran air Sungai Kampar yang berbenturan di muara Sungai Kampar dengan menimbulkan gelombang besar yang menggulung dan menghempas jauh kedalam sungai sehingga dapat menggulung dan menenggelamkan speed boat serta kapal besar maupun kecil.
Bono akan datang berselisih satu jam lebih lambat daripada hari sebelumnya. Sebagai contoh, bila hari ini datang pukul 11.00, besok datang pukul 12.00. Kedatangan gelombang yang termasuk fenomena alam ini ditandai suara gemuruh di kejauhan.
Namun, apakah Bono nantinya mampu melindungi sawah pa Azwir dari renggutan kapitalis perkebunan??
Kepemilikan tanah di tempat ini (termasuk di daerah lain) masih belum bersertifikat. Berdasarkan pengakuan pak Azwir, tanah yang sekarang dia tinggalipun tidak bersertifikat.
“kami hanya punya surat keterangan dari desa untuk tanah yang kami tinggali”
Jadi wajar kalau dia dan teman-temannya harus kehilangan sawah (yang dulu dihadiahkan oleh pemerintah) dengan mudah. Karena tidak ada kepemilikan yang jelas, bahkan untuk sebuah alokasi program pemerintah setempat pun, tidak ada jaminan hukumnya.
Pak Azwir memang menunggu kami untuk memperlihatkan sawahnya. Kami menyewa kapal motor kecil (karena sampan tidak muat) untuk menyebrangi sungai dan melihat sawahnya. Air sungai terlihat coklat, seperti air teh, beda dengan sungai di Jawa yang juga kadang coklat (selagi banjir), tapi coklatnya coklat kopi susu. Saat itu, air sedang surut dan arus pun tenang. Di pinggir sungai terdapat hamparan pasir halus berwarna kecoklatan. Cuaca terik waktu itu, sampai air kubangan di cekungan pasir terasa hangat (mendekati panas).
Setelah melewati hamparan pasir, masih ada semak belukar yang harus kami lewati untuk mencapai sawah. Ilalang dan rumput gajah sepertinya berebut cahaya matahari dengan meninggikan batangnya. Kami tenggelam di dalamya melewati jalan setapak yang sesekali harus lompat untuk menghindari kubangan air.
Kami rasa perjalanan sudah cukup jauh, tapi sawah belum terlihat.
“Masih 1 km lagi. Sawahnya di tengah pulau”
MasyaALLAH….. setelah mendayung menyebrangi sungai, para petani harus jalan kaki 2 km untuk mencapai sawahnya. Sungguh luar biasa!
O ya. Satu lagi. Pak Azwir mengeluhkan gangguan binatang yaitu babi. Keberadaan sawahnya tidak aman oleh gangguan binatang tersebut.
“Kadang sawah yang baru kami tanami, esoknya sudah rusak diacak-acak oleh babi”
Pak Azwir dan kawan-kawannya sudah berusaha mengatasinya dengan memagari sawah mereka dengan pagar sederhana, tapi tidak menyelesaikan masalah.
“Pagarnya pun dirusaknya”
Pantas saja sepanjang perjalanan kami bendengar krasak krusuk dari dalam semak. Bisa jadi si babi sedang mengintai kami di balik semak-semak. Setidaknya bukan ular yang mengitai kami.
Keinginan pa Azwir dan kawan-kawan Cuma satu saja. Mereka meminta bantuan pemerintah setempat untuk pembangunan saluran drainase. Saluran ini nantinya selain berfungsi untuk mengatur air juga sebagai “pagar” dari serangan babi. Babi kan ga bisa loncat!
Berdasarkan landsistemnya, sawah pak Azwir merupakan dataran-dataran pasir paduan sungai/muara, dengan bentukan lahan yang diklasifikasikan oleh Dessaunets (1980) sebagai DATARAN ALUVIAL. Bahan induk tanah pada lahan ini berupa bahan alluvium halus, yakni bahan sedimen dari sungai, bahan ini masih tergolong muda. Bahan induk lain adalah gambut yang dapat ditemukan dilapisan dibawah pasir. Menurut klasifikasi LREP (1990) Sub-group tanah yang pada landform seperti ini adalah Tropaquept, Fluvaquent, dan Tropohemist. Tanah-tanah seperti ini cocok untuk disawahkan.
Pa Azwir dkk telah memilih lokasi sawah yang tepat dengan menempatkan sawahnya di tengah pulau. Selain mengurangi gangguan dari pasang air sungai, kualitas tanah di tengah pulau tergolong lebih baik. Di bagian tengah pulau tanah telah berkembang dengan pembentukan lapisan-lapisan tanah (horizonisasi). Pada tanah seperti ini, lapisan tapak bajak akan lebih mudah terbentuk.
Sistem pertanian masih dilakukan dengan organik. Para petani tidak menambahkan pupuk anorganik ke dalam sawahnya. Alasannya sederhana, para petani percaya tanah mereka subur. Rata-rata petani mengelola sawahnya 1 kali setahun, satu musim mereka membiarkan tanahnya (bera). Pada masa bera inilah tanah me’recoveri’ kesuburannya. Bahan organik yang tinggi merupakan faktor lain mengapa tanah mereka tergolong subur.
Produktivitas sawah pa Azwir dkk tergolong tinggi (setidaknya menurut mereka). Petani dapat memanen 250 kaleng (setara dengan 3 ton) setiap musim dari 1 Ha sawahnya. Jumlah yang cukup tinggi, mengingat input yang diberikan (pupuk) minim sekali. Sebagian hasil panennya dijual kepada bandar yang sengaja datang. Padi yang dijual merupakan kelebihan dari konsumsi mereka.
Pak Azwir merupakan petani sejati. Keinginannya sederhana, dia inginkan kepastian atas hidupnya yang akan dia sandarkan pada sawahnya. Dia hanya inginkan haknya, sebatas sebagai pengganti haknya yang telah dirampas begitu saja.
Semoga hak Pak Azwir dapat segera didapatkan....
Ini cerita tentang perjalananku...pemikiranku... hidupku...mungkin juga sebagian hidup anda, ini tentang kehidupan kita semua...
Senin, 24 Januari 2011
Lesson Learn Pengolahan Lahan Gambut di Indonesia
Lesson Learn Pengolahan Lahan Gambut di Indonesia
Indonesia memiliki cadangan tanah gambut terbesar ke-4 tingkat dunia ( 17 juta ha), setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Sebagian besar lahan gambut Indonesia tersebar di pantai timur Sumatera ( 9,7 juta ha), pulau Kalimantan (6,3 juta ha), dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya (1,3 juta ha) (Driessen dan Suprapto Hardjo, 1974).
Dalam observasinya Rismunandar (2001) menggambarkan kondisi umum lahan rawa gambut Indonesia, yang dapat di klasifikasikan menjadi :
(1). Hutan alami
(2). Kawasan dengan sisa tebangan hutan,seperti kawasan HPH
(3). Lahan gambut hasil drainase/pengeringan yang masih di manfaatkan ataupun yang sudah ditinggalkan.
Menurut Soil Survey Staf (1998), bahan gambut Indonesia berasal dari bahan organik yang terakumulasi secara anaerob (tergenang) secara terus menerus sehingga terbentuk lapisan-lapisan bahan organik. Lapisan bahan organik tersebut di kategorikan ke dalam tanah gambut bila ketebalan mencapai 40cm. Kadar air yang tinggi di ketebalan bahan organik adalah masalah utama dalam pengelolaan lahan gambut untuk pertanian.Kendala lain yang merupakan turunan dari ke-2 kendala tersebut seperti: kemasaman tanah yang tinggi, yang menyebabkan kekahatan unsur-unsur hara bagi tanaman.
Di beberapa tempat penduduk asli maupun pendatang seperti masyarakat Dayak, Banjar, Bugis, dan sebagian kecil etnis Cina, telah berhasil mengembangkan pertanian di lahan gambut.
Walau tidak banyak di ketahui, masyarakat Dayak telah mengembangkan kawasan rawa gambut. Mereka mengelola area di belakang tanggul sungai (back swamp) atau yang mereka sebut sebagai petak lawau. Pengelolaan lahan dikembangkan dengan pengaturan zona pemanfaatan lahan, dimana pembagian lahan disesuaikan dengan karakteristik lahan dengan indikator vegetasi alamiah tertentu. Kawasan hutan di bagian hulu (pedalaman) yang diperkirakan merupakan Hutan Rawa Gambut menjadi area keramat yang tidak boleh di kelola. Pola pengelolaan lahan ini kemudian tergeser dengan adanya ekstensifikasi pertanian oleh pemerintah.
Masyarakat Banjar yang merupakan masyarakat pendatang di pulau Kalimantan yang kemudian dikenal sebagai masyarakat pioneer yang berhasil mengelola lahan gambut menjadi lahan pertanian. Sistem pengolahan yang dikenal dengan Banjarese Sistem, yaitu budidaya padi dengan memanfaatkan air pasang surut sungai. Masyarakat memilih lahan gambut yang masih mendapat pengaruh air pasang sungai. Lahan pertanian mereka dilengkapi dengan pintu-pintu air (tabat) yang berfungsi mengatur tinggi muka air pada petakan. Pada awal musim hujan, saat air sungai mulai pasang, tabat dibuka sehingga air pasang dapat masuk ke setiap petakan. Air ini digunakan untuk mencuci asam-asam pada petakan sehingga pH tanah meningkat. Pencucian ini diharapkan dapat mengurangi kandungan unsur toksikpaeda lahan gambut. Setelah itu petakan dapat ditanami,dan pintu tabat di tutup. Dengan sistem ini, masyarakat Banjar dapat mempertahankan lahan pertaniannya lebih lama denga hasil yang memuaskan.
Di kawasan pantai timur Sumatera, lahan gambut juga dikembangkan oleh masyarakat pendatang, yaitu masyarakat Bugis. Pola pengelolaan lahan di kenal dengan polderisasi, pada hakekatnya pola ini serupa dengan Banjarese Sistem yakni pengaturan air melalui pintu-pintu air. Namun, pada polderisasi, pematang-pematang (polder) selain berfungsi sebagai penahan air pasang juga sebagai lahan budidaya terutama untuk tanaman tahunan seperti kelapa.
Keberhasilan Masyarakat tradisional dalam mengelola lahan gambut membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengembangkan pertanian lahan gambut lebih lanjut. Pihak pemerintah memandang potensi ini sebagai peluang dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan nasional, di pihak lain, swasta memandang potensi ini sebagai sumber keuntungan.
Pembukaan lahan gambut oleh pemerintah di kaitkan dengan program transmigrasi. Program ini sebenarnya telah di lakukan sejak masa penjajahan Belanda melalui program kolonisasi. Kawasan lahan gambut Kalimantan Selatan menjadi salah satu tempat tujuan kolonisasi tersebut, untuk menunjang kebutuhan pengairan pada lahan pertanian. Pemerintah Belanda memperbaiki anjir-anjir (saluran drainase) yang sebelumnya di bangun masyarakat tradisional. Kegiatan pertanian di konsentrasikan di sekitar saluran/anjir-anjir tersebut. Petani yang ditempatkan di kawasan ini telah berhasil mengembangkan pertanian melalui teknik pengelolaan tradisional dan pemillihan komoditas tanaman yang tepat.
Tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan pertanian lahan gambut melalui P4S (Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut) di kawasan pasang surut Sumatera dan Kalimantan. Proyek ini melibatkan 3 institusi besar dalam rancangan pengembangannya. Namun, rancangan institusi tersebut ternyata tidak berhasil mengubah lahan pasang surut menjadi areal pertanian yang potensial. Dapat disimpulkan, rancangan yang langsung di uji pada lahan pasang surut (rancangan IPB di pantai timur Sumatera, dan rancangan UGM di Kalimantan Selatan) berakibat sama, yaitu meningkatnya kemasaman (pH) air pada lahan pertanian. Hal ini disebabkan faktor-faktor penghambat seperti: buruknya drainase, bahaya instrusi garam, dan bahaya pirit, hal tersebut tidak bisa diatasi oleh sistem racangan dari institusi-institusi tersebut.
Sementara itu, di kawasan pantai timur Sumatera, seperti provinsi Riau, konservasi lahan gambut mulai dilakukan oleh kalangan swasta. Tahun 1967 PT Sambu Grup mengembangkan lahan rawa Pasut di Pulau Sambu, Riau untuk perkebunan. Potensi lahan seperti : topografi yang relatif datar, ketersediaan air tinggi, dan lokasi yang strategis yakni dekat dengan jalur perdagangan internasional menjadi modal utama dalam pengelolaan lahan menjadi pertanian. Selanjutnya dilakukan pemilihan komoditas tanaman yang akan dibudidayakan. Hal ini penting mengingat kondisi marginal lahan gambut sehingga hanya tanaman yang toleran terhadap kondisi fisik dan alamia tanah gambut yang dapat dibudidayakan dengan baik. Kelapa dan nenas di pilih sebagai komoditas utama di areal perkebunannya. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek yaitu : tingkat adaptasi kedua tanaman yang tinggi terhadap kemasaman tanah, kemudahan dalam pemeliharaan tanaman, dan prospek pemasarannya.
Dalam persiapan lahan, kanal-kanal di bangun dengan tujuan sebagai sarana pengairan dan drainase. Managemen air yang dilakukan, pada prinsipnya sama dengan Banjarese Sistem, yakni pemanfaatan air pasang surut. Selain itu, upaya perbaikan kesuburan tanah seperti pengapuran dan pemupukan dilakukan dengan berimbang, sehingga produktivitas tanaman menjadi lebih baik.
Keberhasilan pengembangan lahan gambut di berbagai tempat merupakan suatu peluang bagi upaya ekstensifikasi lahan pertanian untuk menunjang swasembada pangan. Untuk itu, presiden RI-Soeharto-mengeluarkan keputusan presiden No. 82 tahun 1995 tentang pengembangan lahan gambut untuk lahan pertanian. Pada proyek ini, pemerintah mengkonversi 638.000 Ha hutan tropis Kalimantan Tengah menjadi areal persawahan dan 362.000 Ha menjadi ladang dan perkebunan(Rismunandar, 2001). Oleh sebab itu, proyek ini dikenal dengan “Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha” untuk menjamin distribusi air pada seluruh lahan konstruksi pertanian.
Saluran drainase dibuat dalam ukuran besar. Tim Teknis Pengelolaan Gambut Kalimantan Tengah (1997) menggambarkan bahwa terdapat 3 saluran utama yang di bangun, yaitu Saluran Primer Induk, Saluran Primer Utama, dan Saluran Drainase Sekunder.
Saluran Primer Induk dibangun untuk menghubungkan 3 sungai besar yaitu : Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, dan Sungai Barito. Melalui saluran primer induk ini air dari sungai-sungai tersebut akan dialirkan ke Saluran Primer Utama untuk kemudian sapai pada petakan lahan melalui saluran-saluran sekunder dan tersier. Sementara drainase lahan dilakukan terpisah melalui Saluran Drainase Sekunder.
Konstruksi saluran tersebut dibuat dalam ukuran yang besar. Saluran Primer Induk dibangun dengan lebar 25 m (permukaan) dan 15 m (pada bagian dasar), kedalam 6 m, dan total panjang 133,2 km. Sementara Saluran Primer Utama yang berjumlah 7 buah dibangun dengan lebar yang sama dan kedalaman 5 m, total panjang Saluran Primer Utama mencapai 568,8 km.
Pada pelaksanaannya, saluran drainase mendrainase air pada lahan gambut dengan berlebih, sehingga menyebabkan penurunan muka tanah (subsidence) dan kekeringan pada muka tanah yang terjadi sangat cepat (overdrain). Menurut Andriesse (1997) subsidence yang terjadi secara berkelanjutan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah sampai pada batas di bawah permukaan air sungai. Dengan demikian, drainase tidak dapat dilakukan kembali, sehingga air asam tidak dapat dibuang dari lahan.
Pusat Kajian Lahan Basah (1998) mencatat bahwa didaerah berpotensi sulfat masam, drainase akan mengakibatkan penurunan pH tanah yang drastis, sehingga lingkungan tanah menjadi sangat masam. Selain itu, dalam Paper Mulyanto (2000), pembangunan saluran-saluran diatas tidak dilakukan dengan hati-hati, dengan ditandai pembuatan saluran yang melewati areal puncak kubah gambut (peat dome), menurutnya areal ini seharusnya di konservasi sebagai daerah resapan air (reservoir air) yang dapat mengsuplai airigasi. Namun, konstruksi sudah dibangun, dan kerusakan tidak dapat dielakkan lagi. Lahan-lahan pertanian yang telah dibuka hanya sebagian kecil saja yang dapat berproduksi dengan baik. Pada musim tanam selanjutnya ancaman kekeringan dan bahaya air asam tidak dapt dielakkan dan pada akhirnya lahan ditinggalkan oleh petani karena tidak dapat dikelola lagi. Mega proyek ini berakhir dengan kata kegagalan, dan tahun 1998 pemerintah secara resmi menutup mega proyek Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha tersebut, dengan beban kerugian yang sangat besar.
Mengacu pada kegagalan Pembukaan Lahan Sejuta Ha tersebut, maka melalui keputusan presiden No. 80/1999, seluruh bekas areal Pembukaan Lahan Gambut dihentikan pembangunannya, kecuali beberapa daerah kerja yang dinilai barhasil. Sebagai upaya reklamasi lahan gambut selanjutnya, pemerintah memperluas izin usaha pengelolaan lahan dan hutan melalui Izin Pengelolaan Hutan dan HTI (Hutan Tanaman Industri)
Namun, pada pelaksanaannya kegiatan perkebunan belum atau bahkan tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Para pengusaha pemegang IPH cenderung tidak memperhatikan keseimbangan antara kayu yang ditebang dengan yang ditanam sehingga kondisi hutan tidak segera pulih. Selain itu, banyak areal yang seharusnya dilindungi sebai resapan air seperti areal kubah gambut, tidak luput dari penebangan. Upaya rehabilitasi lahan cenderung dilakukan setelah seluruh lahan terbuka. Padahal pengelolaan pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan lahan telah diatur dengan tegas oleh undang-undang. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada upaya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku kerusakan hutan.
Disamping itu, praktek ilegal logging yang semakin meluas menambah buruknya kondisi hutan dan lahan gambut hutan yang tinggi. Banyak pihak yang berpendapat bahwa buruknya kondisi lahan dan hutan ini sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kawasan Sumatera dan Kalimantan, yang akhir-akhir ini menjadi issue tahunan yang menyebabkan polusi lingkungan yang tidak saja melanda negara Indonesia tapi juga negara-negara tetangga.
Untuk mempermudah usahanya, para penebang membangun saluran-saluran drainase sampai jauh ke arah pedalaman. Saluran-saluran ini akan membuang kelebihan air pada lahan, sehingga ketinggian air dapat dikurangi. Ketika musim kemarau tiba, kondisi lahan akan jauh lebih kering. Pada lahan terbuka evaporasi akan lebih cepat, dengan demikian kadar air terus berkurang. Sementara itu, pada permukaan tanah, bahan organik menjadi kering dan sangat mudah terbakar, bahkan hanya dengan sengatan matahari.
Kebakaran yang terjadi di lahan gambut umumnya sulit di padamkan. Pada mulanya api akan membakar serasah kering, semak-semak, dan pepohonan, api kemudianakan menyebar secara perlahan ke bagian bawah permukaan tanah, ini yang disebut ground fire. Dalam perkembangannya, api akan menjalar secara vertikal dan horizontal, walaupun di permukaan serasah sudah habis terbakar, namun api masih menjalar kebagian bawah permukaan, mengingat kondisi di bawah permukaan yang tidak kering, maka hanya asap saja yang tampak pada permukaan. Dengan demikian kebakaran sulit di atasi.
Hal ini membawa negara-negara ASEAN untuk membuat kesepakatan tentang pencemaran Asap Lintas Batas atau dikenal sebagai Asean Trans Boundari Haze Pollution (AATHP). Dalam kesepakatan ini dibentuk suatu badan koordinasi yang bertugas dalam upaya pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Upayanya seperti apa, tidak ada langkah yang kongkrit.
Rekomendasi
Jika merunut pada pola-pola pengolahan lahan gambut yang telah di lakukan oleh berbagai pihak, dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pengelolaan terletak pada management air dan pemilihan lahan budidaya yang menyangkut konservasi terhadap areal-areal tertentu.
Seperti halnya Masyarakat Dayak yang menetapkan areal Hutan Rawa Gambut sebagai zona keramat yang tidak boleh di kelola. Hal ini bukan semata-mata karena masyarakat tradisional tidak memiliki kemampuan mengelola areal hutan, namun mereka menyadari bahwa keberadaan hutan telah menjamin keberlangsungan usaha pertanian yang mereka jalankan. Dengan berpegang pada konsep konservasi tersebut, masyarakat Banjar mengembangkan teknik pertanian dengan management air melalui pintu-pintu air mereka. Kelangsungan pertanian - dalam hal ini sawah – tergantung pada jumlah dan kualitas air dalam perpetakan. Hal ini menjelaskan bahwa kesuburan lahan gambut terletak pada kualitas airnya. Jadi, drainase harus dilakukan pada kadar dan waktu yang tepat.
Management air yang telah terbukti berhasil dalam usaha pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan yang dikelola oleh pihak swasta. Upaya ini ditunjang dengan pemilihan komoditas, dan usaha perbaikan kesuburan tanah. Keberhasilan perkebunan swasta ini layaknya menjadi perhatian pemerintah, sebuah kerjasama hendaknya dilakukan. Kerjasama ini di harapkan dapat membangun usaha-usaha baru yang dapat mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Dengan catatan, pengawasan terhadap AMDAL harus senantiasa di lakukan, dan harus di pilih pihak yang kompeten dalam masalah pengelolaan gambut.
Dan, sebagai upaya reklamasi kerusakan lahan yang telah diketahui penyebabnya adalah over drainase, maka sebagai langkah awal adalah menutup kembali salah satu drainase tersebut. Dengan demikian, air hujan yang tertampung pada lahan akan tetap menggenangi lahan sampai saat musim kemarau. Langkah selanjutnya adalah upaya rehabilitasi lahan. Gambut mempunyai sifat kering tidak baik (irreversible drying), mengembalikan gambut pada kondisi alamiahnya merupakan usaha yang akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Walau demikian, jika kita tidak melakukannya untuk hari ini, mungkin ini akan bermanfaat untuk hari yang akan datang.
Semoga!
Indonesia memiliki cadangan tanah gambut terbesar ke-4 tingkat dunia ( 17 juta ha), setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Sebagian besar lahan gambut Indonesia tersebar di pantai timur Sumatera ( 9,7 juta ha), pulau Kalimantan (6,3 juta ha), dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya (1,3 juta ha) (Driessen dan Suprapto Hardjo, 1974).
Dalam observasinya Rismunandar (2001) menggambarkan kondisi umum lahan rawa gambut Indonesia, yang dapat di klasifikasikan menjadi :
(1). Hutan alami
(2). Kawasan dengan sisa tebangan hutan,seperti kawasan HPH
(3). Lahan gambut hasil drainase/pengeringan yang masih di manfaatkan ataupun yang sudah ditinggalkan.
Menurut Soil Survey Staf (1998), bahan gambut Indonesia berasal dari bahan organik yang terakumulasi secara anaerob (tergenang) secara terus menerus sehingga terbentuk lapisan-lapisan bahan organik. Lapisan bahan organik tersebut di kategorikan ke dalam tanah gambut bila ketebalan mencapai 40cm. Kadar air yang tinggi di ketebalan bahan organik adalah masalah utama dalam pengelolaan lahan gambut untuk pertanian.Kendala lain yang merupakan turunan dari ke-2 kendala tersebut seperti: kemasaman tanah yang tinggi, yang menyebabkan kekahatan unsur-unsur hara bagi tanaman.
Di beberapa tempat penduduk asli maupun pendatang seperti masyarakat Dayak, Banjar, Bugis, dan sebagian kecil etnis Cina, telah berhasil mengembangkan pertanian di lahan gambut.
Walau tidak banyak di ketahui, masyarakat Dayak telah mengembangkan kawasan rawa gambut. Mereka mengelola area di belakang tanggul sungai (back swamp) atau yang mereka sebut sebagai petak lawau. Pengelolaan lahan dikembangkan dengan pengaturan zona pemanfaatan lahan, dimana pembagian lahan disesuaikan dengan karakteristik lahan dengan indikator vegetasi alamiah tertentu. Kawasan hutan di bagian hulu (pedalaman) yang diperkirakan merupakan Hutan Rawa Gambut menjadi area keramat yang tidak boleh di kelola. Pola pengelolaan lahan ini kemudian tergeser dengan adanya ekstensifikasi pertanian oleh pemerintah.
Masyarakat Banjar yang merupakan masyarakat pendatang di pulau Kalimantan yang kemudian dikenal sebagai masyarakat pioneer yang berhasil mengelola lahan gambut menjadi lahan pertanian. Sistem pengolahan yang dikenal dengan Banjarese Sistem, yaitu budidaya padi dengan memanfaatkan air pasang surut sungai. Masyarakat memilih lahan gambut yang masih mendapat pengaruh air pasang sungai. Lahan pertanian mereka dilengkapi dengan pintu-pintu air (tabat) yang berfungsi mengatur tinggi muka air pada petakan. Pada awal musim hujan, saat air sungai mulai pasang, tabat dibuka sehingga air pasang dapat masuk ke setiap petakan. Air ini digunakan untuk mencuci asam-asam pada petakan sehingga pH tanah meningkat. Pencucian ini diharapkan dapat mengurangi kandungan unsur toksikpaeda lahan gambut. Setelah itu petakan dapat ditanami,dan pintu tabat di tutup. Dengan sistem ini, masyarakat Banjar dapat mempertahankan lahan pertaniannya lebih lama denga hasil yang memuaskan.
Di kawasan pantai timur Sumatera, lahan gambut juga dikembangkan oleh masyarakat pendatang, yaitu masyarakat Bugis. Pola pengelolaan lahan di kenal dengan polderisasi, pada hakekatnya pola ini serupa dengan Banjarese Sistem yakni pengaturan air melalui pintu-pintu air. Namun, pada polderisasi, pematang-pematang (polder) selain berfungsi sebagai penahan air pasang juga sebagai lahan budidaya terutama untuk tanaman tahunan seperti kelapa.
Keberhasilan Masyarakat tradisional dalam mengelola lahan gambut membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengembangkan pertanian lahan gambut lebih lanjut. Pihak pemerintah memandang potensi ini sebagai peluang dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan nasional, di pihak lain, swasta memandang potensi ini sebagai sumber keuntungan.
Pembukaan lahan gambut oleh pemerintah di kaitkan dengan program transmigrasi. Program ini sebenarnya telah di lakukan sejak masa penjajahan Belanda melalui program kolonisasi. Kawasan lahan gambut Kalimantan Selatan menjadi salah satu tempat tujuan kolonisasi tersebut, untuk menunjang kebutuhan pengairan pada lahan pertanian. Pemerintah Belanda memperbaiki anjir-anjir (saluran drainase) yang sebelumnya di bangun masyarakat tradisional. Kegiatan pertanian di konsentrasikan di sekitar saluran/anjir-anjir tersebut. Petani yang ditempatkan di kawasan ini telah berhasil mengembangkan pertanian melalui teknik pengelolaan tradisional dan pemillihan komoditas tanaman yang tepat.
Tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan pertanian lahan gambut melalui P4S (Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut) di kawasan pasang surut Sumatera dan Kalimantan. Proyek ini melibatkan 3 institusi besar dalam rancangan pengembangannya. Namun, rancangan institusi tersebut ternyata tidak berhasil mengubah lahan pasang surut menjadi areal pertanian yang potensial. Dapat disimpulkan, rancangan yang langsung di uji pada lahan pasang surut (rancangan IPB di pantai timur Sumatera, dan rancangan UGM di Kalimantan Selatan) berakibat sama, yaitu meningkatnya kemasaman (pH) air pada lahan pertanian. Hal ini disebabkan faktor-faktor penghambat seperti: buruknya drainase, bahaya instrusi garam, dan bahaya pirit, hal tersebut tidak bisa diatasi oleh sistem racangan dari institusi-institusi tersebut.
Sementara itu, di kawasan pantai timur Sumatera, seperti provinsi Riau, konservasi lahan gambut mulai dilakukan oleh kalangan swasta. Tahun 1967 PT Sambu Grup mengembangkan lahan rawa Pasut di Pulau Sambu, Riau untuk perkebunan. Potensi lahan seperti : topografi yang relatif datar, ketersediaan air tinggi, dan lokasi yang strategis yakni dekat dengan jalur perdagangan internasional menjadi modal utama dalam pengelolaan lahan menjadi pertanian. Selanjutnya dilakukan pemilihan komoditas tanaman yang akan dibudidayakan. Hal ini penting mengingat kondisi marginal lahan gambut sehingga hanya tanaman yang toleran terhadap kondisi fisik dan alamia tanah gambut yang dapat dibudidayakan dengan baik. Kelapa dan nenas di pilih sebagai komoditas utama di areal perkebunannya. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek yaitu : tingkat adaptasi kedua tanaman yang tinggi terhadap kemasaman tanah, kemudahan dalam pemeliharaan tanaman, dan prospek pemasarannya.
Dalam persiapan lahan, kanal-kanal di bangun dengan tujuan sebagai sarana pengairan dan drainase. Managemen air yang dilakukan, pada prinsipnya sama dengan Banjarese Sistem, yakni pemanfaatan air pasang surut. Selain itu, upaya perbaikan kesuburan tanah seperti pengapuran dan pemupukan dilakukan dengan berimbang, sehingga produktivitas tanaman menjadi lebih baik.
Keberhasilan pengembangan lahan gambut di berbagai tempat merupakan suatu peluang bagi upaya ekstensifikasi lahan pertanian untuk menunjang swasembada pangan. Untuk itu, presiden RI-Soeharto-mengeluarkan keputusan presiden No. 82 tahun 1995 tentang pengembangan lahan gambut untuk lahan pertanian. Pada proyek ini, pemerintah mengkonversi 638.000 Ha hutan tropis Kalimantan Tengah menjadi areal persawahan dan 362.000 Ha menjadi ladang dan perkebunan(Rismunandar, 2001). Oleh sebab itu, proyek ini dikenal dengan “Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha” untuk menjamin distribusi air pada seluruh lahan konstruksi pertanian.
Saluran drainase dibuat dalam ukuran besar. Tim Teknis Pengelolaan Gambut Kalimantan Tengah (1997) menggambarkan bahwa terdapat 3 saluran utama yang di bangun, yaitu Saluran Primer Induk, Saluran Primer Utama, dan Saluran Drainase Sekunder.
Saluran Primer Induk dibangun untuk menghubungkan 3 sungai besar yaitu : Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, dan Sungai Barito. Melalui saluran primer induk ini air dari sungai-sungai tersebut akan dialirkan ke Saluran Primer Utama untuk kemudian sapai pada petakan lahan melalui saluran-saluran sekunder dan tersier. Sementara drainase lahan dilakukan terpisah melalui Saluran Drainase Sekunder.
Konstruksi saluran tersebut dibuat dalam ukuran yang besar. Saluran Primer Induk dibangun dengan lebar 25 m (permukaan) dan 15 m (pada bagian dasar), kedalam 6 m, dan total panjang 133,2 km. Sementara Saluran Primer Utama yang berjumlah 7 buah dibangun dengan lebar yang sama dan kedalaman 5 m, total panjang Saluran Primer Utama mencapai 568,8 km.
Pada pelaksanaannya, saluran drainase mendrainase air pada lahan gambut dengan berlebih, sehingga menyebabkan penurunan muka tanah (subsidence) dan kekeringan pada muka tanah yang terjadi sangat cepat (overdrain). Menurut Andriesse (1997) subsidence yang terjadi secara berkelanjutan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah sampai pada batas di bawah permukaan air sungai. Dengan demikian, drainase tidak dapat dilakukan kembali, sehingga air asam tidak dapat dibuang dari lahan.
Pusat Kajian Lahan Basah (1998) mencatat bahwa didaerah berpotensi sulfat masam, drainase akan mengakibatkan penurunan pH tanah yang drastis, sehingga lingkungan tanah menjadi sangat masam. Selain itu, dalam Paper Mulyanto (2000), pembangunan saluran-saluran diatas tidak dilakukan dengan hati-hati, dengan ditandai pembuatan saluran yang melewati areal puncak kubah gambut (peat dome), menurutnya areal ini seharusnya di konservasi sebagai daerah resapan air (reservoir air) yang dapat mengsuplai airigasi. Namun, konstruksi sudah dibangun, dan kerusakan tidak dapat dielakkan lagi. Lahan-lahan pertanian yang telah dibuka hanya sebagian kecil saja yang dapat berproduksi dengan baik. Pada musim tanam selanjutnya ancaman kekeringan dan bahaya air asam tidak dapt dielakkan dan pada akhirnya lahan ditinggalkan oleh petani karena tidak dapat dikelola lagi. Mega proyek ini berakhir dengan kata kegagalan, dan tahun 1998 pemerintah secara resmi menutup mega proyek Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha tersebut, dengan beban kerugian yang sangat besar.
Mengacu pada kegagalan Pembukaan Lahan Sejuta Ha tersebut, maka melalui keputusan presiden No. 80/1999, seluruh bekas areal Pembukaan Lahan Gambut dihentikan pembangunannya, kecuali beberapa daerah kerja yang dinilai barhasil. Sebagai upaya reklamasi lahan gambut selanjutnya, pemerintah memperluas izin usaha pengelolaan lahan dan hutan melalui Izin Pengelolaan Hutan dan HTI (Hutan Tanaman Industri)
Namun, pada pelaksanaannya kegiatan perkebunan belum atau bahkan tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Para pengusaha pemegang IPH cenderung tidak memperhatikan keseimbangan antara kayu yang ditebang dengan yang ditanam sehingga kondisi hutan tidak segera pulih. Selain itu, banyak areal yang seharusnya dilindungi sebai resapan air seperti areal kubah gambut, tidak luput dari penebangan. Upaya rehabilitasi lahan cenderung dilakukan setelah seluruh lahan terbuka. Padahal pengelolaan pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan lahan telah diatur dengan tegas oleh undang-undang. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada upaya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku kerusakan hutan.
Disamping itu, praktek ilegal logging yang semakin meluas menambah buruknya kondisi hutan dan lahan gambut hutan yang tinggi. Banyak pihak yang berpendapat bahwa buruknya kondisi lahan dan hutan ini sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kawasan Sumatera dan Kalimantan, yang akhir-akhir ini menjadi issue tahunan yang menyebabkan polusi lingkungan yang tidak saja melanda negara Indonesia tapi juga negara-negara tetangga.
Untuk mempermudah usahanya, para penebang membangun saluran-saluran drainase sampai jauh ke arah pedalaman. Saluran-saluran ini akan membuang kelebihan air pada lahan, sehingga ketinggian air dapat dikurangi. Ketika musim kemarau tiba, kondisi lahan akan jauh lebih kering. Pada lahan terbuka evaporasi akan lebih cepat, dengan demikian kadar air terus berkurang. Sementara itu, pada permukaan tanah, bahan organik menjadi kering dan sangat mudah terbakar, bahkan hanya dengan sengatan matahari.
Kebakaran yang terjadi di lahan gambut umumnya sulit di padamkan. Pada mulanya api akan membakar serasah kering, semak-semak, dan pepohonan, api kemudianakan menyebar secara perlahan ke bagian bawah permukaan tanah, ini yang disebut ground fire. Dalam perkembangannya, api akan menjalar secara vertikal dan horizontal, walaupun di permukaan serasah sudah habis terbakar, namun api masih menjalar kebagian bawah permukaan, mengingat kondisi di bawah permukaan yang tidak kering, maka hanya asap saja yang tampak pada permukaan. Dengan demikian kebakaran sulit di atasi.
Hal ini membawa negara-negara ASEAN untuk membuat kesepakatan tentang pencemaran Asap Lintas Batas atau dikenal sebagai Asean Trans Boundari Haze Pollution (AATHP). Dalam kesepakatan ini dibentuk suatu badan koordinasi yang bertugas dalam upaya pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Upayanya seperti apa, tidak ada langkah yang kongkrit.
Rekomendasi
Jika merunut pada pola-pola pengolahan lahan gambut yang telah di lakukan oleh berbagai pihak, dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pengelolaan terletak pada management air dan pemilihan lahan budidaya yang menyangkut konservasi terhadap areal-areal tertentu.
Seperti halnya Masyarakat Dayak yang menetapkan areal Hutan Rawa Gambut sebagai zona keramat yang tidak boleh di kelola. Hal ini bukan semata-mata karena masyarakat tradisional tidak memiliki kemampuan mengelola areal hutan, namun mereka menyadari bahwa keberadaan hutan telah menjamin keberlangsungan usaha pertanian yang mereka jalankan. Dengan berpegang pada konsep konservasi tersebut, masyarakat Banjar mengembangkan teknik pertanian dengan management air melalui pintu-pintu air mereka. Kelangsungan pertanian - dalam hal ini sawah – tergantung pada jumlah dan kualitas air dalam perpetakan. Hal ini menjelaskan bahwa kesuburan lahan gambut terletak pada kualitas airnya. Jadi, drainase harus dilakukan pada kadar dan waktu yang tepat.
Management air yang telah terbukti berhasil dalam usaha pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan yang dikelola oleh pihak swasta. Upaya ini ditunjang dengan pemilihan komoditas, dan usaha perbaikan kesuburan tanah. Keberhasilan perkebunan swasta ini layaknya menjadi perhatian pemerintah, sebuah kerjasama hendaknya dilakukan. Kerjasama ini di harapkan dapat membangun usaha-usaha baru yang dapat mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Dengan catatan, pengawasan terhadap AMDAL harus senantiasa di lakukan, dan harus di pilih pihak yang kompeten dalam masalah pengelolaan gambut.
Dan, sebagai upaya reklamasi kerusakan lahan yang telah diketahui penyebabnya adalah over drainase, maka sebagai langkah awal adalah menutup kembali salah satu drainase tersebut. Dengan demikian, air hujan yang tertampung pada lahan akan tetap menggenangi lahan sampai saat musim kemarau. Langkah selanjutnya adalah upaya rehabilitasi lahan. Gambut mempunyai sifat kering tidak baik (irreversible drying), mengembalikan gambut pada kondisi alamiahnya merupakan usaha yang akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Walau demikian, jika kita tidak melakukannya untuk hari ini, mungkin ini akan bermanfaat untuk hari yang akan datang.
Semoga!
Langganan:
Postingan (Atom)