Jumat, 08 April 2011

Salak Tasuk

Kamis, 31 Maret 2011. Cuaca cukup cerah, LV 18 melaju ke arah pos gabungan untuk selanjutnya masuk ke Desa Tasuk, setelah mendapatkan izin dari security. Desa Tasuk adalah perkampungan terdekat dengan lokasi pertambangan PT. Berau Coal. Desa Tasuk terdiri dari 3 (tiga) kampung, Kampung Tasuk Atas, Kampung Tasuk Tengah, dan Kampung Tasuk Bawah. Sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan bekerja di PT. Berau Coal.
Kami masuk dari Kampung Tasuk Atas, setelah hutan rawa, jalan berbelok ke kanan, terlihat sawah yang sudah siap panen. Sayang, sawah terendam karena selama 4 (empat) hari berturut-turut hujan turun, karena itu padi masih tampak hijau walaupun biji padi sudah terlihat bernas. Kiri kanan jalan diwarnai dengan suasana kampung dimana rumah penduduk berselang dengan kebun. Ada yang menarik disini, di beberapa titik terlihat kebun salak, sesuatu yang ganjil menurut pemikiranku. Namun, terlihat pohon salak tidak berbuah, hal ini selaras dengan kondisi kebun yang tidak terawat.
Perjalanan dilanjutkan menuju kampung Tasuk Tengah. Kami bertandang ke rumah Pa Ribut, seorang petani salak. Lahan yang dikelola seluas 1 Hektar, sebagian salak yang ditanam merupakan salak pondoh. Pa Ribut merupakan petani binaan dari Community Development PT Berau Coal. Diantara banyaknya jenis usaha tani yang dikembangkan di Desa Tasuk ini, Salak dinilai potensial untuk dikembangkan di Desa Tasuk.


Umumnya salak yang berkualitas ditemukan dikawasan lereng gunung seperti Sleman (lereng gunung Merapi) yang terkenal dengan salak pondoh, salak bali yang dikenal dengan salak gula pasir di lereng Gunung Agung, dan salak Manonjaya di kaki Gunung Galunggung Tasikmalaya. Di tinjau dari jenis tanahnya, ketiga tempat ini memiliki tipikal tanah yang dapat dipastikan subur, mengingat adanya pengaruh abu vulkanik. Salak atau nama latinnya Salacca edulis mempunyai syarat tumbuh sebagai berikut :

  1. Tanaman salak sesuai bila ditanam di daerah berzona iklim Aa bcd, Babc dan Cbc. A berarti jumlah bulan basah tinggi (11-12 bulan/tahun), B: 8-10 bulan/tahun dan C : 5-7 bulan/tahun.

  2. Salak akan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah. Berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi.

  3. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50-70%, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh.

  4. Suhu yang paling baik antara 20-30°C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi, tetapi tidak tahan genangan air.

  5. Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur dan lembab.

  6. Derajat keasaman tanah (pH) yang cocok untuk budidaya salak adalah 4,5 - 7,5.
  7. Kebun salak tidak tahan dengan genangan air. Untuk pertumbuhannya membutuhkan kelembaban tinggi.

  8. Tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100-500 m dpl.

Yang menarik disini adalah kebun salak Pa Ribut yang terletak di Kampung Tasuk Tengah dengan kondisi lingkungan yang jauh berbeda dengan tempat asal salak pondoh (Sleman) ataupun salak unggulan lainnya. Tanah-tanah disini memiliki fluktuasi genangan musiman, dengan jenis tanah yang tergolong Podzolik, genangan air akan memperburuk kondisi tanah sehingga drainase tanah menjadi buruk. Pa Ribut menyiasati kondisi ini dengan membuat saluran drainase berupa parit-parit di tengah kebunnya. Hal penting lainnya adalah umumnya salak menyukai tanah yang subur.
Desa Tasuk, seperti jenis tanah yang terdapat di Kalimantan termasuk jenis tanah yang kurang subur, ditandai dengan sifat fisik (warna yang cerah) dan jauh dari pengaruh abu vulkanik. Dalam hal ini Pa Ribut tidak melakukan ameliorasi ataupun pemupukan secara intensif. Ini sangat menarik.
“Saya pupuk dengan urea, kadang NPK, itupun jika ada sisa pupuk dari pemupukan tanaman lain”
Bermodal pengetahuan dan bibit salak pondoh yang didapat langsung dari Sleman, Yogyakarta Pa Ribut mulai mengembangkan salak pondoh di Desa Tasuk. Ilmu yang diperoleh mulai diterapkan. Harapannya dengan bibit yang sama, dan teknik budidaya yang sama makan hasilnya akan sama. Namun, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan dugaan.
“Saya pernah putus asa, karena pohon-pohon salaknya tidak berbuah dengan baik. Ingin rasanya saya tinggalkan kebun ini dan ikut bekerja di pertambangan seperti yang lain. Namun, saya sudah telanjur untuk mengembangkan salak”
Dengan ketekunannya Pa Ribut mulai memperbaiki cara budidaya salaknya. Misalnya, di Yogya anakan (tunas) tidak dibuang dan dibiarkan tumbuh, hal ini tidak berlaku di Desa Tasuk, anakan (tunas) baru yang terlalu banyak dapat menghambat produksi salak. Penjarangan harus dilakukan untuk menjamin adanya ruang untuk bunga salak. Jumlah dahan (tandan) yang dibiarkan di Yogja berjumlah 9 (dihitung dari daun termuda/teratas) di Tasuk, tandan yang dibiarkan harus lebih banyak, mencapai 12 tandan, hal ini untuk memberikan kesempatan bunga (bakal buah salak) yang lebih banyak pada bagian bawah.

Hal menarik lainnya adalah upaya mengawinkan bungan salak. Hal ini sedikit aneh mengingat salak adalah tanaman kleistogami atau berumah dua, dimana bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu pohon. Pembuahan sebenarnya bisa terjadi secara alami, tanpa bantuan manusia. Namun, saya berfikir disinilah letak keberhasilan Pa Ribut mengembangkan salak.

Salak pondoh di Desa Tasuk tidak akan berbuah dengan lebat dan manis tanpa proses pembuahan yang dibantu oleh Pa Ribut. Pa Ribut mengambil serbuk sari dari pohon jantan pilihan yang ditanam di tempat lain, yang kemudian dibubuhkan di atas putik bunga betina.

Kesabaran dan ketekunannya mempelajari dan mengembangkan budidaya salak ternyata berbuah manis. Manis dalam konteks sebenarnya dimana buah salak yang dihasilkan manis-manis, semanis salak pondoh, dan manis dalam arti berhasil, dimana salak-salaknya berbuah dengan lebat, satu pohon salak bisa menghasilkan 5-10 tandan, jika ditimbang minimal 4 Kg per pohon per panen. Salak tidak mempunyai musim. Pohon salak akan mulai berbuah 2-3 tahun setelah tanam, setelah itu panen dapat dilakukan 10 (sepuluh) hari sekali.Pemasaran buah salaknya sendiri ternyata tidak mengalami kesulitan.

“Salaknya ya dijual sendiri saja ke tetangga-tetangga, baru kalau berlebih sekarung dua karung saya jual ke Teluk (desa yang terletak disebrang Desa Tasuk)”
Dengan demikian potensi pasar masih terbuka luas, mengingat Salak Pa Ribut belum sampai memenuhi kebutuhan pasar. Namun, ketika ditanya apakah ingin mengembangkan kebun salaknya, Pa Ribut dan Istri mengeluh.
“Saya ngurus kebun segini aza sudah repot. Butuh waktu seharian untuk mengurus kebun ini, pemeliharaan kebun dilakukan setiap hari, jadi tidak ada waktu lagi untuk membuka lahan baru”
“Satu saja kendala saya, saya ga punya teman untuk mengelola kebun salak”
“Yang lain lebih memilih untuk bekerja di perusahaan”
Menarik sekali.
Dari pengalaman ini, saya banyak belajar bagaimana budidaya salak. Pa Ribut memulai usaha salak ini boleh dibilang dari nol, hal ini mengingat cara budidaya yang diterapkan merupakan inovasi yang ditemukan sendiri oleh Pa Ribut. Ketekunan Pa Ribut dalam mempelajari budidaya salak sepertinya menjadi kunci sukses keberhasilan budidaya salak pondoh di Desa Tasuk.
Keterbatasan sumberdaya fisik lahan dan lingkungan adalah tantangan untuk sebuah keberhasilan. Semoga keberhasilannya menjadi inspirasi untuk bagi petani lainnya.
Bagaimanapun, sesuatu yang dilakukan dengan kecintaan dan kesabaran akan berbuah manis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar