Lesson Learn Pengolahan Lahan Gambut di Indonesia
Indonesia memiliki cadangan tanah gambut terbesar ke-4 tingkat dunia ( 17 juta ha), setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Sebagian besar lahan gambut Indonesia tersebar di pantai timur Sumatera ( 9,7 juta ha), pulau Kalimantan (6,3 juta ha), dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya (1,3 juta ha) (Driessen dan Suprapto Hardjo, 1974).
Dalam observasinya Rismunandar (2001) menggambarkan kondisi umum lahan rawa gambut Indonesia, yang dapat di klasifikasikan menjadi :
(1). Hutan alami
(2). Kawasan dengan sisa tebangan hutan,seperti kawasan HPH
(3). Lahan gambut hasil drainase/pengeringan yang masih di manfaatkan ataupun yang sudah ditinggalkan.
Menurut Soil Survey Staf (1998), bahan gambut Indonesia berasal dari bahan organik yang terakumulasi secara anaerob (tergenang) secara terus menerus sehingga terbentuk lapisan-lapisan bahan organik. Lapisan bahan organik tersebut di kategorikan ke dalam tanah gambut bila ketebalan mencapai 40cm. Kadar air yang tinggi di ketebalan bahan organik adalah masalah utama dalam pengelolaan lahan gambut untuk pertanian.Kendala lain yang merupakan turunan dari ke-2 kendala tersebut seperti: kemasaman tanah yang tinggi, yang menyebabkan kekahatan unsur-unsur hara bagi tanaman.
Di beberapa tempat penduduk asli maupun pendatang seperti masyarakat Dayak, Banjar, Bugis, dan sebagian kecil etnis Cina, telah berhasil mengembangkan pertanian di lahan gambut.
Walau tidak banyak di ketahui, masyarakat Dayak telah mengembangkan kawasan rawa gambut. Mereka mengelola area di belakang tanggul sungai (back swamp) atau yang mereka sebut sebagai petak lawau. Pengelolaan lahan dikembangkan dengan pengaturan zona pemanfaatan lahan, dimana pembagian lahan disesuaikan dengan karakteristik lahan dengan indikator vegetasi alamiah tertentu. Kawasan hutan di bagian hulu (pedalaman) yang diperkirakan merupakan Hutan Rawa Gambut menjadi area keramat yang tidak boleh di kelola. Pola pengelolaan lahan ini kemudian tergeser dengan adanya ekstensifikasi pertanian oleh pemerintah.
Masyarakat Banjar yang merupakan masyarakat pendatang di pulau Kalimantan yang kemudian dikenal sebagai masyarakat pioneer yang berhasil mengelola lahan gambut menjadi lahan pertanian. Sistem pengolahan yang dikenal dengan Banjarese Sistem, yaitu budidaya padi dengan memanfaatkan air pasang surut sungai. Masyarakat memilih lahan gambut yang masih mendapat pengaruh air pasang sungai. Lahan pertanian mereka dilengkapi dengan pintu-pintu air (tabat) yang berfungsi mengatur tinggi muka air pada petakan. Pada awal musim hujan, saat air sungai mulai pasang, tabat dibuka sehingga air pasang dapat masuk ke setiap petakan. Air ini digunakan untuk mencuci asam-asam pada petakan sehingga pH tanah meningkat. Pencucian ini diharapkan dapat mengurangi kandungan unsur toksikpaeda lahan gambut. Setelah itu petakan dapat ditanami,dan pintu tabat di tutup. Dengan sistem ini, masyarakat Banjar dapat mempertahankan lahan pertaniannya lebih lama denga hasil yang memuaskan.
Di kawasan pantai timur Sumatera, lahan gambut juga dikembangkan oleh masyarakat pendatang, yaitu masyarakat Bugis. Pola pengelolaan lahan di kenal dengan polderisasi, pada hakekatnya pola ini serupa dengan Banjarese Sistem yakni pengaturan air melalui pintu-pintu air. Namun, pada polderisasi, pematang-pematang (polder) selain berfungsi sebagai penahan air pasang juga sebagai lahan budidaya terutama untuk tanaman tahunan seperti kelapa.
Keberhasilan Masyarakat tradisional dalam mengelola lahan gambut membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengembangkan pertanian lahan gambut lebih lanjut. Pihak pemerintah memandang potensi ini sebagai peluang dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan nasional, di pihak lain, swasta memandang potensi ini sebagai sumber keuntungan.
Pembukaan lahan gambut oleh pemerintah di kaitkan dengan program transmigrasi. Program ini sebenarnya telah di lakukan sejak masa penjajahan Belanda melalui program kolonisasi. Kawasan lahan gambut Kalimantan Selatan menjadi salah satu tempat tujuan kolonisasi tersebut, untuk menunjang kebutuhan pengairan pada lahan pertanian. Pemerintah Belanda memperbaiki anjir-anjir (saluran drainase) yang sebelumnya di bangun masyarakat tradisional. Kegiatan pertanian di konsentrasikan di sekitar saluran/anjir-anjir tersebut. Petani yang ditempatkan di kawasan ini telah berhasil mengembangkan pertanian melalui teknik pengelolaan tradisional dan pemillihan komoditas tanaman yang tepat.
Tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan pertanian lahan gambut melalui P4S (Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut) di kawasan pasang surut Sumatera dan Kalimantan. Proyek ini melibatkan 3 institusi besar dalam rancangan pengembangannya. Namun, rancangan institusi tersebut ternyata tidak berhasil mengubah lahan pasang surut menjadi areal pertanian yang potensial. Dapat disimpulkan, rancangan yang langsung di uji pada lahan pasang surut (rancangan IPB di pantai timur Sumatera, dan rancangan UGM di Kalimantan Selatan) berakibat sama, yaitu meningkatnya kemasaman (pH) air pada lahan pertanian. Hal ini disebabkan faktor-faktor penghambat seperti: buruknya drainase, bahaya instrusi garam, dan bahaya pirit, hal tersebut tidak bisa diatasi oleh sistem racangan dari institusi-institusi tersebut.
Sementara itu, di kawasan pantai timur Sumatera, seperti provinsi Riau, konservasi lahan gambut mulai dilakukan oleh kalangan swasta. Tahun 1967 PT Sambu Grup mengembangkan lahan rawa Pasut di Pulau Sambu, Riau untuk perkebunan. Potensi lahan seperti : topografi yang relatif datar, ketersediaan air tinggi, dan lokasi yang strategis yakni dekat dengan jalur perdagangan internasional menjadi modal utama dalam pengelolaan lahan menjadi pertanian. Selanjutnya dilakukan pemilihan komoditas tanaman yang akan dibudidayakan. Hal ini penting mengingat kondisi marginal lahan gambut sehingga hanya tanaman yang toleran terhadap kondisi fisik dan alamia tanah gambut yang dapat dibudidayakan dengan baik. Kelapa dan nenas di pilih sebagai komoditas utama di areal perkebunannya. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek yaitu : tingkat adaptasi kedua tanaman yang tinggi terhadap kemasaman tanah, kemudahan dalam pemeliharaan tanaman, dan prospek pemasarannya.
Dalam persiapan lahan, kanal-kanal di bangun dengan tujuan sebagai sarana pengairan dan drainase. Managemen air yang dilakukan, pada prinsipnya sama dengan Banjarese Sistem, yakni pemanfaatan air pasang surut. Selain itu, upaya perbaikan kesuburan tanah seperti pengapuran dan pemupukan dilakukan dengan berimbang, sehingga produktivitas tanaman menjadi lebih baik.
Keberhasilan pengembangan lahan gambut di berbagai tempat merupakan suatu peluang bagi upaya ekstensifikasi lahan pertanian untuk menunjang swasembada pangan. Untuk itu, presiden RI-Soeharto-mengeluarkan keputusan presiden No. 82 tahun 1995 tentang pengembangan lahan gambut untuk lahan pertanian. Pada proyek ini, pemerintah mengkonversi 638.000 Ha hutan tropis Kalimantan Tengah menjadi areal persawahan dan 362.000 Ha menjadi ladang dan perkebunan(Rismunandar, 2001). Oleh sebab itu, proyek ini dikenal dengan “Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha” untuk menjamin distribusi air pada seluruh lahan konstruksi pertanian.
Saluran drainase dibuat dalam ukuran besar. Tim Teknis Pengelolaan Gambut Kalimantan Tengah (1997) menggambarkan bahwa terdapat 3 saluran utama yang di bangun, yaitu Saluran Primer Induk, Saluran Primer Utama, dan Saluran Drainase Sekunder.
Saluran Primer Induk dibangun untuk menghubungkan 3 sungai besar yaitu : Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, dan Sungai Barito. Melalui saluran primer induk ini air dari sungai-sungai tersebut akan dialirkan ke Saluran Primer Utama untuk kemudian sapai pada petakan lahan melalui saluran-saluran sekunder dan tersier. Sementara drainase lahan dilakukan terpisah melalui Saluran Drainase Sekunder.
Konstruksi saluran tersebut dibuat dalam ukuran yang besar. Saluran Primer Induk dibangun dengan lebar 25 m (permukaan) dan 15 m (pada bagian dasar), kedalam 6 m, dan total panjang 133,2 km. Sementara Saluran Primer Utama yang berjumlah 7 buah dibangun dengan lebar yang sama dan kedalaman 5 m, total panjang Saluran Primer Utama mencapai 568,8 km.
Pada pelaksanaannya, saluran drainase mendrainase air pada lahan gambut dengan berlebih, sehingga menyebabkan penurunan muka tanah (subsidence) dan kekeringan pada muka tanah yang terjadi sangat cepat (overdrain). Menurut Andriesse (1997) subsidence yang terjadi secara berkelanjutan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah sampai pada batas di bawah permukaan air sungai. Dengan demikian, drainase tidak dapat dilakukan kembali, sehingga air asam tidak dapat dibuang dari lahan.
Pusat Kajian Lahan Basah (1998) mencatat bahwa didaerah berpotensi sulfat masam, drainase akan mengakibatkan penurunan pH tanah yang drastis, sehingga lingkungan tanah menjadi sangat masam. Selain itu, dalam Paper Mulyanto (2000), pembangunan saluran-saluran diatas tidak dilakukan dengan hati-hati, dengan ditandai pembuatan saluran yang melewati areal puncak kubah gambut (peat dome), menurutnya areal ini seharusnya di konservasi sebagai daerah resapan air (reservoir air) yang dapat mengsuplai airigasi. Namun, konstruksi sudah dibangun, dan kerusakan tidak dapat dielakkan lagi. Lahan-lahan pertanian yang telah dibuka hanya sebagian kecil saja yang dapat berproduksi dengan baik. Pada musim tanam selanjutnya ancaman kekeringan dan bahaya air asam tidak dapt dielakkan dan pada akhirnya lahan ditinggalkan oleh petani karena tidak dapat dikelola lagi. Mega proyek ini berakhir dengan kata kegagalan, dan tahun 1998 pemerintah secara resmi menutup mega proyek Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha tersebut, dengan beban kerugian yang sangat besar.
Mengacu pada kegagalan Pembukaan Lahan Sejuta Ha tersebut, maka melalui keputusan presiden No. 80/1999, seluruh bekas areal Pembukaan Lahan Gambut dihentikan pembangunannya, kecuali beberapa daerah kerja yang dinilai barhasil. Sebagai upaya reklamasi lahan gambut selanjutnya, pemerintah memperluas izin usaha pengelolaan lahan dan hutan melalui Izin Pengelolaan Hutan dan HTI (Hutan Tanaman Industri)
Namun, pada pelaksanaannya kegiatan perkebunan belum atau bahkan tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Para pengusaha pemegang IPH cenderung tidak memperhatikan keseimbangan antara kayu yang ditebang dengan yang ditanam sehingga kondisi hutan tidak segera pulih. Selain itu, banyak areal yang seharusnya dilindungi sebai resapan air seperti areal kubah gambut, tidak luput dari penebangan. Upaya rehabilitasi lahan cenderung dilakukan setelah seluruh lahan terbuka. Padahal pengelolaan pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan lahan telah diatur dengan tegas oleh undang-undang. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada upaya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku kerusakan hutan.
Disamping itu, praktek ilegal logging yang semakin meluas menambah buruknya kondisi hutan dan lahan gambut hutan yang tinggi. Banyak pihak yang berpendapat bahwa buruknya kondisi lahan dan hutan ini sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kawasan Sumatera dan Kalimantan, yang akhir-akhir ini menjadi issue tahunan yang menyebabkan polusi lingkungan yang tidak saja melanda negara Indonesia tapi juga negara-negara tetangga.
Untuk mempermudah usahanya, para penebang membangun saluran-saluran drainase sampai jauh ke arah pedalaman. Saluran-saluran ini akan membuang kelebihan air pada lahan, sehingga ketinggian air dapat dikurangi. Ketika musim kemarau tiba, kondisi lahan akan jauh lebih kering. Pada lahan terbuka evaporasi akan lebih cepat, dengan demikian kadar air terus berkurang. Sementara itu, pada permukaan tanah, bahan organik menjadi kering dan sangat mudah terbakar, bahkan hanya dengan sengatan matahari.
Kebakaran yang terjadi di lahan gambut umumnya sulit di padamkan. Pada mulanya api akan membakar serasah kering, semak-semak, dan pepohonan, api kemudianakan menyebar secara perlahan ke bagian bawah permukaan tanah, ini yang disebut ground fire. Dalam perkembangannya, api akan menjalar secara vertikal dan horizontal, walaupun di permukaan serasah sudah habis terbakar, namun api masih menjalar kebagian bawah permukaan, mengingat kondisi di bawah permukaan yang tidak kering, maka hanya asap saja yang tampak pada permukaan. Dengan demikian kebakaran sulit di atasi.
Hal ini membawa negara-negara ASEAN untuk membuat kesepakatan tentang pencemaran Asap Lintas Batas atau dikenal sebagai Asean Trans Boundari Haze Pollution (AATHP). Dalam kesepakatan ini dibentuk suatu badan koordinasi yang bertugas dalam upaya pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Upayanya seperti apa, tidak ada langkah yang kongkrit.
Rekomendasi
Jika merunut pada pola-pola pengolahan lahan gambut yang telah di lakukan oleh berbagai pihak, dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pengelolaan terletak pada management air dan pemilihan lahan budidaya yang menyangkut konservasi terhadap areal-areal tertentu.
Seperti halnya Masyarakat Dayak yang menetapkan areal Hutan Rawa Gambut sebagai zona keramat yang tidak boleh di kelola. Hal ini bukan semata-mata karena masyarakat tradisional tidak memiliki kemampuan mengelola areal hutan, namun mereka menyadari bahwa keberadaan hutan telah menjamin keberlangsungan usaha pertanian yang mereka jalankan. Dengan berpegang pada konsep konservasi tersebut, masyarakat Banjar mengembangkan teknik pertanian dengan management air melalui pintu-pintu air mereka. Kelangsungan pertanian - dalam hal ini sawah – tergantung pada jumlah dan kualitas air dalam perpetakan. Hal ini menjelaskan bahwa kesuburan lahan gambut terletak pada kualitas airnya. Jadi, drainase harus dilakukan pada kadar dan waktu yang tepat.
Management air yang telah terbukti berhasil dalam usaha pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan yang dikelola oleh pihak swasta. Upaya ini ditunjang dengan pemilihan komoditas, dan usaha perbaikan kesuburan tanah. Keberhasilan perkebunan swasta ini layaknya menjadi perhatian pemerintah, sebuah kerjasama hendaknya dilakukan. Kerjasama ini di harapkan dapat membangun usaha-usaha baru yang dapat mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Dengan catatan, pengawasan terhadap AMDAL harus senantiasa di lakukan, dan harus di pilih pihak yang kompeten dalam masalah pengelolaan gambut.
Dan, sebagai upaya reklamasi kerusakan lahan yang telah diketahui penyebabnya adalah over drainase, maka sebagai langkah awal adalah menutup kembali salah satu drainase tersebut. Dengan demikian, air hujan yang tertampung pada lahan akan tetap menggenangi lahan sampai saat musim kemarau. Langkah selanjutnya adalah upaya rehabilitasi lahan. Gambut mempunyai sifat kering tidak baik (irreversible drying), mengembalikan gambut pada kondisi alamiahnya merupakan usaha yang akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Walau demikian, jika kita tidak melakukannya untuk hari ini, mungkin ini akan bermanfaat untuk hari yang akan datang.
Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar