Namanya bapak Azwir , kami mengunjunginya pada pertengahan November 2010. Bapak ini adalah salah satu dari ketua kelompok tani di desa Meranti Baru, kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan keramaian. Untuk mencapai tempat ini kami menempuh perjalanan ± 3 jam dari Pangkalan Kerinci (kecepatan ngebut), ¾ perjalanan kami adalah jalan tanah berbatu dan berdebu. Jalan ini banyak memotong bukit-bukit kecil, sehingga profil tanah dapat terlihat jelas di kiri kanan. Kiri kanan jalan adalah kebun akasia (Acacia Mangium) dan sawit (Elaeis guineensis) yang silih berselang. Sesekali kami lihat ada pencetakan batako, usaha yang bagus mengingat tanah setempat terbentuk dari tras berupa tuffa masam, paduan menarik dimana rawa-rawa ditemukan di cekungan-cekungan yang dapat ditemukan pada antiklinnya.
Rumah Pak Azwir menghadap ke sungai Kuala Kampar, muara dari sungai Kampar. Rumah panggung yang sangat sederhana ini telah berdiri pupuhan tahun. Kami duduk di teras rumah dan merasakan sejuknya angin yang menghembuskan daun jambu air yang kala itu (sayangnya) baru berbunga.
Pak Azwir ternyata baru kembali dari sawah (ladang)nya, diseberang sungai. Beliau menggunakan sampan sederhana untuk mencapai sawahnya, di sana, di tengah pulau yang kami ga tau namanya.
Kedatangan kami disambut baik olehnya. Wajahnya sumringah menyambut kami. Jika sudah begini aku jadi ikut senang.
Pak Azwir adalah ketua kelompuk tani terbaik (menurut penyuluh tani setempat), beliau membawahi 15 orang anggota petaninya. Lokasi sawahnya ya ditengah pulau itu. Luas sawahnya mencapai 600 Ha yang dikelola oleh 20 kelompok tani. Kepemilikan sawah petani di pulau itu 1-2 Ha.
Alasan kenapa mereka berladang di tengah pulau adalah alasan teknis yang sederhana, namun komplek secara birokratis.
“Di pulau itulah kami akan aman dengan keberadaan sawah kami, kami pernah mengelola sawah (yang dicetak oleh kecamatan setempat sehubungan dengan program OPRM) di darat (begitu dia menyebut dataran Riau) namun, baru 2 kali kami kelola, sawah tersebut diambil alih oleh suatu PT sebagai bagian dari kawasan perkebunannya”
“Sungai ini mungkin tidak terlalu lebar untuk ditempuh oleh sampan kecil, tapi kadang kami tidak bisa nyebrang kalau sungai sedang pasang, terlebih lagi kami takut dengan adanya Bono”
Bono adalah alunan gelombang besar yang terjadi bersamaan dengan pasang naik dan pasang surut dengan ketinggian puncak gelombangnya mencapai 4-6 meter. Rentangan gelombang tersebut hampir selebar sungai Kampar. Gelombang ini terjadi akibat benturan tiga arus air yang berasal dari Selat Melaka, Laut Cina Selatan dan Aliran air Sungai Kampar yang berbenturan di muara Sungai Kampar dengan menimbulkan gelombang besar yang menggulung dan menghempas jauh kedalam sungai sehingga dapat menggulung dan menenggelamkan speed boat serta kapal besar maupun kecil.
Bono akan datang berselisih satu jam lebih lambat daripada hari sebelumnya. Sebagai contoh, bila hari ini datang pukul 11.00, besok datang pukul 12.00. Kedatangan gelombang yang termasuk fenomena alam ini ditandai suara gemuruh di kejauhan.
Namun, apakah Bono nantinya mampu melindungi sawah pa Azwir dari renggutan kapitalis perkebunan??
Kepemilikan tanah di tempat ini (termasuk di daerah lain) masih belum bersertifikat. Berdasarkan pengakuan pak Azwir, tanah yang sekarang dia tinggalipun tidak bersertifikat.
“kami hanya punya surat keterangan dari desa untuk tanah yang kami tinggali”
Jadi wajar kalau dia dan teman-temannya harus kehilangan sawah (yang dulu dihadiahkan oleh pemerintah) dengan mudah. Karena tidak ada kepemilikan yang jelas, bahkan untuk sebuah alokasi program pemerintah setempat pun, tidak ada jaminan hukumnya.
Pak Azwir memang menunggu kami untuk memperlihatkan sawahnya. Kami menyewa kapal motor kecil (karena sampan tidak muat) untuk menyebrangi sungai dan melihat sawahnya. Air sungai terlihat coklat, seperti air teh, beda dengan sungai di Jawa yang juga kadang coklat (selagi banjir), tapi coklatnya coklat kopi susu. Saat itu, air sedang surut dan arus pun tenang. Di pinggir sungai terdapat hamparan pasir halus berwarna kecoklatan. Cuaca terik waktu itu, sampai air kubangan di cekungan pasir terasa hangat (mendekati panas).
Setelah melewati hamparan pasir, masih ada semak belukar yang harus kami lewati untuk mencapai sawah. Ilalang dan rumput gajah sepertinya berebut cahaya matahari dengan meninggikan batangnya. Kami tenggelam di dalamya melewati jalan setapak yang sesekali harus lompat untuk menghindari kubangan air.
Kami rasa perjalanan sudah cukup jauh, tapi sawah belum terlihat.
“Masih 1 km lagi. Sawahnya di tengah pulau”
MasyaALLAH….. setelah mendayung menyebrangi sungai, para petani harus jalan kaki 2 km untuk mencapai sawahnya. Sungguh luar biasa!
O ya. Satu lagi. Pak Azwir mengeluhkan gangguan binatang yaitu babi. Keberadaan sawahnya tidak aman oleh gangguan binatang tersebut.
“Kadang sawah yang baru kami tanami, esoknya sudah rusak diacak-acak oleh babi”
Pak Azwir dan kawan-kawannya sudah berusaha mengatasinya dengan memagari sawah mereka dengan pagar sederhana, tapi tidak menyelesaikan masalah.
“Pagarnya pun dirusaknya”
Pantas saja sepanjang perjalanan kami bendengar krasak krusuk dari dalam semak. Bisa jadi si babi sedang mengintai kami di balik semak-semak. Setidaknya bukan ular yang mengitai kami.
Keinginan pa Azwir dan kawan-kawan Cuma satu saja. Mereka meminta bantuan pemerintah setempat untuk pembangunan saluran drainase. Saluran ini nantinya selain berfungsi untuk mengatur air juga sebagai “pagar” dari serangan babi. Babi kan ga bisa loncat!
Berdasarkan landsistemnya, sawah pak Azwir merupakan dataran-dataran pasir paduan sungai/muara, dengan bentukan lahan yang diklasifikasikan oleh Dessaunets (1980) sebagai DATARAN ALUVIAL. Bahan induk tanah pada lahan ini berupa bahan alluvium halus, yakni bahan sedimen dari sungai, bahan ini masih tergolong muda. Bahan induk lain adalah gambut yang dapat ditemukan dilapisan dibawah pasir. Menurut klasifikasi LREP (1990) Sub-group tanah yang pada landform seperti ini adalah Tropaquept, Fluvaquent, dan Tropohemist. Tanah-tanah seperti ini cocok untuk disawahkan.
Pa Azwir dkk telah memilih lokasi sawah yang tepat dengan menempatkan sawahnya di tengah pulau. Selain mengurangi gangguan dari pasang air sungai, kualitas tanah di tengah pulau tergolong lebih baik. Di bagian tengah pulau tanah telah berkembang dengan pembentukan lapisan-lapisan tanah (horizonisasi). Pada tanah seperti ini, lapisan tapak bajak akan lebih mudah terbentuk.
Sistem pertanian masih dilakukan dengan organik. Para petani tidak menambahkan pupuk anorganik ke dalam sawahnya. Alasannya sederhana, para petani percaya tanah mereka subur. Rata-rata petani mengelola sawahnya 1 kali setahun, satu musim mereka membiarkan tanahnya (bera). Pada masa bera inilah tanah me’recoveri’ kesuburannya. Bahan organik yang tinggi merupakan faktor lain mengapa tanah mereka tergolong subur.
Produktivitas sawah pa Azwir dkk tergolong tinggi (setidaknya menurut mereka). Petani dapat memanen 250 kaleng (setara dengan 3 ton) setiap musim dari 1 Ha sawahnya. Jumlah yang cukup tinggi, mengingat input yang diberikan (pupuk) minim sekali. Sebagian hasil panennya dijual kepada bandar yang sengaja datang. Padi yang dijual merupakan kelebihan dari konsumsi mereka.
Pak Azwir merupakan petani sejati. Keinginannya sederhana, dia inginkan kepastian atas hidupnya yang akan dia sandarkan pada sawahnya. Dia hanya inginkan haknya, sebatas sebagai pengganti haknya yang telah dirampas begitu saja.
Semoga hak Pak Azwir dapat segera didapatkan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar