Minggu, 06 Februari 2011

Pasar Induk Berau

Ikhwalnya aku tertarik ke pasar karena harus mencari kaos kaki yang lumayan tebal untuk mencegah kakiku lecet saat memakai boots. Setelah ku Tanya penjaga hotel aku tau kalau harus menggunakan angkot yang kea rah bandara. Aku cegat angkot dari taman kota (gasibu) kearah bandara. Banyak ibu-ibu yang mau kepasar rupanya, terlihat dari keranjang yang dibawanya. Banyak temen lah…
Ternyata ongkosnya lumayan mahal juga. Rp. 5000,- untuk jarak yang kufikir masih jauhan Bubulak- Br. Siang. Hello… ini Kalimantan bu…. Hehehehe….

Pasar induk ini dibagi menjadi 4 bagian pasar, yaitu : pasar kering (paling depan), plasa pasar kering dan foodcourt, pasar basah, dan plasa pasar subuh. Fasilitas pasar tak kalah lengkapnya, dari mulai mesjid, tempat penyimpanan ikan dan daging, halted an pangkalan ojek. Pasar tradisional ini mungkin jarang (atau bahkan tidak ada) ditemukan di Jawa.

Pasar basah lumayan ramai, karena hari masih terbilang pagi. Pasar ini terutama pasar basah dan plasa pasar subuh mulai buka jam 3 subuh, dan akan tutup jam 5 sore. Harga barangnya… ga usah ditanya pasti lebih mahal dari harga barang di Jawa. Hal ini jelas terlihat dari ongkos angkot nya yang jauh lebih mahal (Dasar orang kere….hehehehe..)

Ga jauh dari pintu aku masuk ada lapak yang menjual kaos kaki, aku iseng tanya harganya Rp. 15.000,- per 2 pasang. Tuh kan apa ku bilang, harganya pasti lebih mahal, di Bogor/Bandung aku bisa dapet kaos kaki emperan Rp. 10.000 per 3 pasang… Sudahlah kembali ke hukum yang ada, ini Kalimantan! Akhirnya aku beli 1 pasang saja dengan harga Rp. 8000,-. Suka ga enak kalau sudah menawar barang eh ga jadi beli. Aku berjalan ke depan dan menemukan suatu plasa atau taman yang lumayan bagus. Anak-anak kecil bermain bola di pelataran, mungkin mereka sambil menunggu ibunya berbelanja. Hal yang tak akan pernah ditemukan di pusat perbelanjaan di Jawa. Boro-boro untuk bermain bola, untuk parkir saja kadang ga tersedia.

Pemerintah kabupaten Berau memang mengfasilitasi warganya dengan membangun pasar tradisional yang megah ini. Aku sempat ngobrol dengan penjual kaos kaki di pasar kering, seorang bapak-bapak yang mengaku dari tahun 1996 berniaga di Berau. Menurutnya pasar ini baru beroperasi pada bulan puasa kemarin, jadi belum genap setengah tahun. Katanya pemerintah menerapkan sewa tempat bukan jual kios, jadi para pedagang hanya menyewa. Awalnya para penjual enggan pindah dari pasar lama yang terletak di Tanjung. Bagaimana tidak, letak pasar lama dan pasar yang sekarang lumayan jauh, butuh waktu setidaknya setengah jam. Pasar induk yang baru juga terletak jauh di luar kota. Lihat sekeliling pasar, perkampungan tidak terlalu ramai di sini. Namun, aku curuga, pertimbangan pemerintah menempatkan pasar induk di tempat ini adalah letaknya yang di tengah-tengah kabupaten.

Sebagai langkah awal pemerintah setempat memberlakukan masa percoban selama 6 bulan, free of charge… Tapi, lihat pasar ini,masih kosong. Ada dua lantai, lantai satu pun masih banyak kios yang kosong, apalagi di pasar kering di bagian depan. Bapak penjual kaos kaki ini sebenarnya punya jatah kios dilantai 2, tapi dia mengelar dagangannya di lantai dasar dekat escalator yang belum jalan, karena di lantai atas tidak ramai.

Memang.. pasar ini terlalu luas untuk ukuran pasar tradisional kabupaten, dengan fasilitas yang terlalu lengkap. Foodcort? Apakah akan berjalan dengan baik, dan akan seramai foodcourt-foodcourt yang dibangun dengan sempurna ini akan seramai yang ada di kota-kota. Bukan pesimis atau merendahkan, yang datang ke pasar tradisional adalah ibu-ibu rumah tangga dengan satu tujuan belanja kebutuhan rumah tangga, bukan ibu-ibu gaul atau ABG yang akan nongkrong-nongkrong seperti yang sering ditemui dikota-kota, dimana mereka datang bahkan hanya untuk makan siang atau mencoba-coba menu yang dihidangkan, dimana mereka menyebutnya wisata kuliner.
Siapa yang akan menggunakan fasilitas selengkap ini, karena masyarakat belum atau mungkin tidak memerlukannya.
Inilah bentuk otonomi daerah, satu sisi seperti kabupaten Berau bingung untuk mengalokasikan pendapatan daerah yang berlimpah, hingga pembangunan fasilitaspun dirasa berlebihan. Sisi lain daerah-daerah yang miskin, juga bingung untuk meningkatkan pendapatan daerahnya, ditambah ancaman korupsi yang merajalela tidak pandang daerahnya kaya atau miskin, daerah-daerah ini nasibnya tragis, alih-alih memberikan fasilitas, semua fasilitas yang ada akan kena tarif retribusi. Negeri ini negeri yang kaya, hanya dengan kebijakan yang benar-benar bijak, kemakmuran bagi masyarakatnya akan tercapai….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar