Ini cerita tentang perjalananku...pemikiranku... hidupku...mungkin juga sebagian hidup anda, ini tentang kehidupan kita semua...
Jumat, 15 April 2011
Roseto
Roseto diambil dari asal daerah mereka Roseto Valfortore yang terletak seratus mil tenggara kota Roma di pegunungan Apennie, provinsi Foggia, Italia. Pada awal abad 19 orang Roseto berbondong-bondong menuju Amerika. Di Negara ini mereka bermukim di Bangor, dan bekerja pada tambang batu. Mereka kemudian membuat pemukiman di sisi pegunungan batu yang bisa dicapai dari Bangor dengan berkendaraan kereta kuda melalui jalanan yang juram dan terjal. Pada awalnya mereka menamai kota kecil mereka New Italy, tetapi kemudian diubah menjadi Roseto yang dirasa lebih pantas mengingat asal mereka berasal dari desa yang sama di Italia.
Ada suatu hal yang menarik dari kota kecil ini yang diungkap oleh seorang dokter yang sedang menghabiskan liburannya di kawasan pertanian di Pennsylvania yang tidak jauh dari Roseto, Dr. Stewart Wolf. Sang dokter merasa takjub dengan kenyataan yang ditemukan di Roseto bahwa dia jarang menemukan penduduk Roseto di bawah usia 65 tahun yang mengidap penyakit jantung. Saat itu masih tahun 1950-an dimana berbagai obat penurun kolestrol dan pengobatan yang agresif untuk mencegah timbulnya penyakit jantung belum ditemukan. Saat itu serangan jantung sudah menjadi epidemic di Amerika Serikat dan menjadi penyebab kematian utama bagi kaum pria dibawah usia 50 tahun.
Beranjak dari fakta tersebut Dr. Wolf dibantu oleh beberapa murid dan rekannya melakukan penelitian. Dalam penelitian ini dikumpulkan sertifikat kematian dari penduduk Roseto. Analisis dilakukan terhadap penyebab kematian dan sejarah kesehatan dan geneakologi keluarga di kota itu. Sampling dilakukan pada contoh darah dan EKG yang dilakukan terhadap seluruh penduduk Roseto. Pengambilan sample dilakukan selama 4 minggu. Penelitian dilakukan pada tahun 1961. Hasil penelitian benar-benar mengejutkan.
Di Roseto, praktis tidak ada orang dibawah usia lima puluh tahun yang meninggal akibat serangan jantung atau tanda-tanda penyakit jantung. Untuk orang diatas 65 tahun, tingkat kematian karena jantung di Roseto sekitar ½ dari seluruh Amerika Serikat. Tingkat kematian karena berbagai penyebab di Rosseto sekitar 30-35 % di bawah dugaan.
Pada penelitiannya Wolf menyertakan rekannya seorang sosiolog bernama John Bruhn untuk menolongnya. Wawancara dilakukan oleh mahasiswa kedokteran dan mahasiswa pasca sarjana Sosiologi. Mereka berkunjung dari rumah kerumah dan melakukan wawancara dengan penduduk yang berusia minimal 21 tahun.
Tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, tidak ada kecanduan obat terlarang, dan sangat sedikit tindak kejahatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak ada catatan yang menderita luka lambung. Kesimpulannya adalah orang-orang tersebut meninggal akibat sudah uzur. Itu saja.
Dalam hal ini Dr. Wolf menemukan bahwa Roseto merupakan tempat di luar pengalaman manusia normal, dimana atuaran normal tidak ditemukan di tempat itu. Roseto adalah sebuah outlier.
Dr. wolf kemudian meneliti cara makan dari penduduk Roseto, dengan asumsi bahwa warga Roseto pasti menjalankan sejenis pengaturan makanan dari ‘dunia lama’ yang membuat mereka lebih sehat dari kebanyakan orang Amerika lainnya. Namun, hipotesanya ternyata keliru. Warga Roseto memasak makanan dengan lemak babi, bukan dengan minyak zaitun yang lebih sehat seperti yang biasa mereka lakukan sewaktu di Italia. Pizza di Italia dibuat dalam bentuk lempengan roti tipis dengan garam, minyak, dan mungkin tomat, ikan kering kecil, atau bawang. Pizza di Pensylvania dibuat dalam bentuk lempengan roti tebal dengan tambahan sosis, daging pepperoni, salami, ham, dan kadang-kadang telur. Kudapan yang manis-manis seperti biscotti dan taralli biasanya disimpan untuk hari Natal dan Paskah, di Roseto kudapan ini biasa dimakan kapanpun. Kemudian Dr. Wolf mendatangkan ahli diet untuk menganalisis kebiasaan konsumsi makanan warga Roseto. Mereka menemukan bahwa 41 % kalori yang mereka dapatkan berasal dari lemak. Warga di kota inipun jarang melakukan yoga dan berlari pagi sejauh enam mil di udara yang dingin secara konsisten. Warga di Pensylvania sebagian besar perokok berat dan banyak diantaranya bermasalah dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Pola makan dan olahraga ternyata tidak dapat menjelaskan fakta yang ditemukan.
Penelitian kemudian diarahkan kepada genetika. Warga Roseto adalah sekelompok orang yang sangat dekat yang berasal dari daerah yang sama di Italia. Dr. Wolf menduga bahwa warga berasal dari garis keturunan yang sama yang menyebabkan mereka dilindungi dari potensi penyakit tertentu. Untuk itu penelitian juga dilakukan terhadap anggota keluarga Roseto yang tinggal di luar Pensylvania. Ternyata tidak.
Dia kemudian menyelidiki ke tempat dimana warga Roseto tinggal. Apakah mungkin ada sesuatu di lingkungan pebukitan yang mereka diami di Pennsylvania timur yang bagus untuk kesehatan mereka? Dua kota yang terletak paling dekat dengan Roseto adalah Bangor, yang terletak di bawah bukit, dan Nazareth, beberapa mil jauhnya. Kedua kota ini memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan Roseto dan didiami oleh imigran Eropa yang sama pekerja kerasnya dengan warga Roseto. Dr.Wolf meneliti catatan kesehatan kedua kota tersebut. Untuk pria di atas 65 tahun, tingkat kematian akibat serangan jantung di Nazareth dan Bangor ternyata tiga kali lipat dibandingkan dengan Roseto. Dr Wolf mengalami kebuntuan lagi.
Dr. Wolf mulai menyadari bahwa rahasia di Roseto bukanlah pola makan atau olahraga atau gen atau lokasi. Rahasianya pasti di Roseto itu sendiri.
Saat Dr. Wolf dan rekannya berjalan-jalan di Roseto, mereka menemukan jawabnnya. Mereka melihat bagaimana warga Roseto saling berkunjung antara satu dengan yang lain, berhenti untuk mengobrol dalam bahasa Italia di jalanan, mereka juga sering memasak untuk tetangganya di halaman belakang rumahnya. Selain itu Dr. Wolf juga mempelajari tentang berbagai klan di keluarga besar yang menjadi penopang struktur sosial kota tersebut. Mereka melihat berapa banyak rumah yang ditinggali tiga generasi keluarga, dan seberapa besar rasa hormat yang didapat oleh para kakek nenek.
Warga Roseto mempunyai etos egaliter dalam hidup bermasyarakat, dimana orang-orang kaya tidak memamerkan kekayaannya, dan orang-orang yang kurang sukses menguburkan segala kegagalannya. Penerapan kebudayaan paesani dari Italia selatan ke pebukitan di Pennsylvania timur, penduduk Roseto telah menciptakan sebuah struktur sosial yang hebat dan protektif yang mampu melindungi mereka dari tekanan dunia modern. Warga Roseto hidup sehat karena tempat asal mereka, karena dunia yang telah diciptakan untuk mereka sendiri di kota kecil mungil di pebukitan.
Secara konvensional, menjalani kehidupan yang panjang sangat tergantung kepada siapa diri kita (maksudnya gen yang kita punya). Kehidupan tergantung kepada keputusan yang kita buat, hal ini meliputi : makanan apa yang kita makan, seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk berolah raga, dan seberapa banyak sistem medis merawat kita. Dalam hal ini tidak ada yang pernah memikirkan kesehatan yang melibatkan komunitas.
Dr. Wolf kemudian menyarankan kepada dunia kedokteran agar melihat kesehatan dan serangan jantung dalam cara yang baru. Dokter harus menyadarkan orang-orang untuk melihat keluar dari individu. Mereka harus memahami budaya yang menjadi bagian dari dirinya, dan siapa teman dan keluarganya, asal kota keluarganya. Mereka harus menghargai pemikiran bahwa nilai dari dunia yang kita alami dan orang-orang dari sekeliling kita memiliki efek yang sangat besar atas siapa diri kita.
Jumat, 08 April 2011
Salak Tasuk
Kami masuk dari Kampung Tasuk Atas, setelah hutan rawa, jalan berbelok ke kanan, terlihat sawah yang sudah siap panen. Sayang, sawah terendam karena selama 4 (empat) hari berturut-turut hujan turun, karena itu padi masih tampak hijau walaupun biji padi sudah terlihat bernas. Kiri kanan jalan diwarnai dengan suasana kampung dimana rumah penduduk berselang dengan kebun. Ada yang menarik disini, di beberapa titik terlihat kebun salak, sesuatu yang ganjil menurut pemikiranku. Namun, terlihat pohon salak tidak berbuah, hal ini selaras dengan kondisi kebun yang tidak terawat.
Perjalanan dilanjutkan menuju kampung Tasuk Tengah. Kami bertandang ke rumah Pa Ribut, seorang petani salak. Lahan yang dikelola seluas 1 Hektar, sebagian salak yang ditanam merupakan salak pondoh. Pa Ribut merupakan petani binaan dari Community Development PT Berau Coal. Diantara banyaknya jenis usaha tani yang dikembangkan di Desa Tasuk ini, Salak dinilai potensial untuk dikembangkan di Desa Tasuk.
Umumnya salak yang berkualitas ditemukan dikawasan lereng gunung seperti Sleman (lereng gunung Merapi) yang terkenal dengan salak pondoh, salak bali yang dikenal dengan salak gula pasir di lereng Gunung Agung, dan salak Manonjaya di kaki Gunung Galunggung Tasikmalaya. Di tinjau dari jenis tanahnya, ketiga tempat ini memiliki tipikal tanah yang dapat dipastikan subur, mengingat adanya pengaruh abu vulkanik. Salak atau nama latinnya Salacca edulis mempunyai syarat tumbuh sebagai berikut :
- Tanaman salak sesuai bila ditanam di daerah berzona iklim Aa bcd, Babc dan Cbc. A berarti jumlah bulan basah tinggi (11-12 bulan/tahun), B: 8-10 bulan/tahun dan C : 5-7 bulan/tahun.
- Salak akan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah. Berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi.
- Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50-70%, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh.
- Suhu yang paling baik antara 20-30°C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi, tetapi tidak tahan genangan air.
- Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur dan lembab.
- Derajat keasaman tanah (pH) yang cocok untuk budidaya salak adalah 4,5 - 7,5.
- Kebun salak tidak tahan dengan genangan air. Untuk pertumbuhannya membutuhkan kelembaban tinggi.
- Tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100-500 m dpl.
Yang menarik disini adalah kebun salak Pa Ribut yang terletak di Kampung Tasuk Tengah dengan kondisi lingkungan yang jauh berbeda dengan tempat asal salak pondoh (Sleman) ataupun salak unggulan lainnya. Tanah-tanah disini memiliki fluktuasi genangan musiman, dengan jenis tanah yang tergolong Podzolik, genangan air akan memperburuk kondisi tanah sehingga drainase tanah menjadi buruk. Pa Ribut menyiasati kondisi ini dengan membuat saluran drainase berupa parit-parit di tengah kebunnya. Hal penting lainnya adalah umumnya salak menyukai tanah yang subur.
Desa Tasuk, seperti jenis tanah yang terdapat di Kalimantan termasuk jenis tanah yang kurang subur, ditandai dengan sifat fisik (warna yang cerah) dan jauh dari pengaruh abu vulkanik. Dalam hal ini Pa Ribut tidak melakukan ameliorasi ataupun pemupukan secara intensif. Ini sangat menarik.
“Saya pupuk dengan urea, kadang NPK, itupun jika ada sisa pupuk dari pemupukan tanaman lain”
Bermodal pengetahuan dan bibit salak pondoh yang didapat langsung dari Sleman, Yogyakarta Pa Ribut mulai mengembangkan salak pondoh di Desa Tasuk. Ilmu yang diperoleh mulai diterapkan. Harapannya dengan bibit yang sama, dan teknik budidaya yang sama makan hasilnya akan sama. Namun, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan dugaan.
“Saya pernah putus asa, karena pohon-pohon salaknya tidak berbuah dengan baik. Ingin rasanya saya tinggalkan kebun ini dan ikut bekerja di pertambangan seperti yang lain. Namun, saya sudah telanjur untuk mengembangkan salak”
Dengan ketekunannya Pa Ribut mulai memperbaiki cara budidaya salaknya. Misalnya, di Yogya anakan (tunas) tidak dibuang dan dibiarkan tumbuh, hal ini tidak berlaku di Desa Tasuk, anakan (tunas) baru yang terlalu banyak dapat menghambat produksi salak. Penjarangan harus dilakukan untuk menjamin adanya ruang untuk bunga salak. Jumlah dahan (tandan) yang dibiarkan di Yogja berjumlah 9 (dihitung dari daun termuda/teratas) di Tasuk, tandan yang dibiarkan harus lebih banyak, mencapai 12 tandan, hal ini untuk memberikan kesempatan bunga (bakal buah salak) yang lebih banyak pada bagian bawah.
Hal menarik lainnya adalah upaya mengawinkan bungan salak. Hal ini sedikit aneh mengingat salak adalah tanaman kleistogami atau berumah dua, dimana bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu pohon. Pembuahan sebenarnya bisa terjadi secara alami, tanpa bantuan manusia. Namun, saya berfikir disinilah letak keberhasilan Pa Ribut mengembangkan salak.
Salak pondoh di Desa Tasuk tidak akan berbuah dengan lebat dan manis tanpa proses pembuahan yang dibantu oleh Pa Ribut. Pa Ribut mengambil serbuk sari dari pohon jantan pilihan yang ditanam di tempat lain, yang kemudian dibubuhkan di atas putik bunga betina.
Kesabaran dan ketekunannya mempelajari dan mengembangkan budidaya salak ternyata berbuah manis. Manis dalam konteks sebenarnya dimana buah salak yang dihasilkan manis-manis, semanis salak pondoh, dan manis dalam arti berhasil, dimana salak-salaknya berbuah dengan lebat, satu pohon salak bisa menghasilkan 5-10 tandan, jika ditimbang minimal 4 Kg per pohon per panen. Salak tidak mempunyai musim. Pohon salak akan mulai berbuah 2-3 tahun setelah tanam, setelah itu panen dapat dilakukan 10 (sepuluh) hari sekali.Pemasaran buah salaknya sendiri ternyata tidak mengalami kesulitan.
“Salaknya ya dijual sendiri saja ke tetangga-tetangga, baru kalau berlebih sekarung dua karung saya jual ke Teluk (desa yang terletak disebrang Desa Tasuk)”
Dengan demikian potensi pasar masih terbuka luas, mengingat Salak Pa Ribut belum sampai memenuhi kebutuhan pasar. Namun, ketika ditanya apakah ingin mengembangkan kebun salaknya, Pa Ribut dan Istri mengeluh.
“Saya ngurus kebun segini aza sudah repot. Butuh waktu seharian untuk mengurus kebun ini, pemeliharaan kebun dilakukan setiap hari, jadi tidak ada waktu lagi untuk membuka lahan baru”
“Satu saja kendala saya, saya ga punya teman untuk mengelola kebun salak”
“Yang lain lebih memilih untuk bekerja di perusahaan”
Menarik sekali.
Dari pengalaman ini, saya banyak belajar bagaimana budidaya salak. Pa Ribut memulai usaha salak ini boleh dibilang dari nol, hal ini mengingat cara budidaya yang diterapkan merupakan inovasi yang ditemukan sendiri oleh Pa Ribut. Ketekunan Pa Ribut dalam mempelajari budidaya salak sepertinya menjadi kunci sukses keberhasilan budidaya salak pondoh di Desa Tasuk.
Keterbatasan sumberdaya fisik lahan dan lingkungan adalah tantangan untuk sebuah keberhasilan. Semoga keberhasilannya menjadi inspirasi untuk bagi petani lainnya.
Bagaimanapun, sesuatu yang dilakukan dengan kecintaan dan kesabaran akan berbuah manis.