Jumat, 09 Maret 2012

BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) DI INDONESIA

Padi awalnya dibudidayakan di daerah pelembahan Asia daratan (Thailand, Burma, Laos, India, dan lain-lain). Budidaya padi ini kemudian menyebar ke berbagai daerah lainnya, baik tropika maupun subtropika, termasuk Indonesia. Padi tidak hanya ditanam sebagai padi sawah, namun ada juga sebagai padi gogo atau padi ladang. Pola pertanaman kedua jenis padi ini jelas berbeda, demikian juga tingkat kesesuaian lahannya. Namun, varietas-varietas tertentu dapat ditanam pada kedua sistem tersebut.
Menurut Ahn (1993) dalam Situmorang dan Sudadi (2001), terdapat 5 (lima) pola pertanaman padi yang utama didaerah tropik, yaitu : irigasi, tadah hujan, sebar langsung pada sawah irigasi, padi apung, dan pemanfaatan air hujan di daerah dataran tinggi/daerah berbukit.
       Umumnya padi ditanam pada lahan yang disebut sawah. Sawah adalah tanah yang dibatasi dengan pematang yang digunakan sebagai area penanaman padi yang diairi dengan pengairan teknis atau tadah hujan. Pada musism-musim tertentu, sawah tidak hanya digunakan untuk bertanam padi, tapi juga digunakan untuk bertanam palawija. Istilah sawah bukan merupakan taksonomi, akan tetapi merupakan istilah yang menggambarkan jenis penggunaan tanah, hal ini dapat disejajarkan dengan istilah Forest soil dan grasslandsoil. 
        Di Indonesia, sawah diusahakan pada jenis-jenis tanah : Entisol, Inceptisol, Vertisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol, yang menyebar luas di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (terutama Sulawesi Selatan). Sifat-sifat tanah tersebut apabila disawahkan sangat dipengaruhi oleh suber bahan asalnya. Menurut Supraptohardjo dan Suharjo (1970) dalam Situmorang dan Sudadi (2001), jenis tanah yang banyak digunanakan untuk persawahan adalah Aluvial dan Gleisol. Hal ini disebabkan faktor air dan fisiografinya yang paling memungkinkan. Jenis tanah lainnya umumnya terdapat pada fisiografi berombak sampai berbukit, sehingga kurang memungkinkan untuk disawahkan. Namun, akhir-akhir ini telah banyak lahan yang dibuka untuk persawahan pada daerah-daerah berlereng dengan pembuatan teras-teras, walaupun luasannya relatif sempit.
            Umumnya tanah sawah di Indonesia berasal dari lahan kering dan lahan rawa-rawa. Tanah sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit, kadang-kadang sampai bergunung. Pembuatan teras dilakukan pada tanah-tanah seperti ini, kemudian lahan diairi dengan air irigasi atau air hujan. Sawah seperti ini banyak terdapat di Jawa, Bali, Lombok, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan tanah sawah yang berasl dari lahan rawa-rawa dapat berupa sawah lebak dan sawah pasang surut. Sawah seperti ini banyak dijumpai di Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan.
            Persyaratan utama dalam penggunaan suatu lahan untuk dijadikan sawah adalah ketersediaan air. Persyaratan tersebut kemudian dikembangkan untuk kepentingan pendugaan produksi, perencanaan dan pengadaan sarana produksi, sehingga faktor-faktor persyaratan tersebut diperinci. Menurut Dent (1978), usaha penetapan kualitas lahan untuk penggunaan tertentu ditentukan oleh faktor-faktor berikut :
  1. Topografi : kemiringan lahan, dalam profil efektif, tebal lapisan olah
  2. Fisik tanah : tekstur tanah, mineral liat, permeabilitas, perkolasi, daya olah tanah
  3. Karakteristik air tanah : kandungan air tanah, muka air tanah, drainase, genangan air/banjir
  4. Kimia tanah : kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, pH, bahan organik, hara tersedia, potensi redoks.
  5. Faktor pembatas : lapisan sulfur, lapisan laterit, kemasaman, salinitas, alkalinitas, konduktivitas. 

Di Indonesia permasalahan yang sering terjadi pada tanah yang disawahkan antara lain :  iklim (musim kemarau), topografi (hubungannya dengan tingkat bahaya erosi), dan sifat tanah (kandungan hara yang tidak seimbang).
Pada daerah-daerah dengan curah hujan rendah atau tidak memiliki saluran irigasi, pola penanaman padi umumnya disesuaikan dengan ketersediaan air, yaitu air hujan. Pola budidaya padi yang diterapkan adalah tadah hujan. Pola ini banyak diterapkan di daerah Indonesia bagian timur, dan daerah lain yang tidak terdapat jaringan irigasi.
Pada pola tadah hujan, pengolahan tanah dilakukan pada akhir musim kemarau, hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhan padi, terutama pada awal pertumbuhan. Pengolahan tanah dilakukan dengan pembuatan galangan-galangan untuk dapat menahan kehilangan air melalui aliran permukaan (run off). Selain itu, petani juga membuat tempat penampungan air hujan (embung) sebagai cadangan air irigasi. Penanaman padi umumnya dilakukan dengan cara tugal yang dilakukan setelah hujan turun beberapa kali sehingga pada saat padi muali tumbuh petakan sudah tergenang air.
Pola budidaya lain yang dapat ditemukan di Indonesia adalah padi lebak (rawa non pasang surut). Genangan air pada lebak sangat tergantung pada musim. Pada tipe lahan tertentu, genagan hanya terjadi pada musim hujan saja. Faktor pembatas utama untuk budidaya padi pada lahan ini adalah genangan air (bahaya banjir). Untuk mengatasi bahaya banjir, petani membangun tanggul-tanggul pencegah banjir. Tanggul-tanggul ini dubuat sepanjang sungai. Saluran irigasi dibuat di belakang tanggul-tanggul penahan banjir. Saluran irigasi tersebut dibuat untuk menampung aliran permukaan dari lahan, pada saatnya air ini akan digunakan kembali sebagai sumber irigasi pada petakan sawah. Pada pola budidaya padi di lahan lebak, penanaman padi dilakukan pada akhir musim hujan, yaitu pada saat air genangan mulai turun. Lebak biasanya tidak akan ditanami bila genangannya masih tinggi. 
Keragaman kondisi fisik lahan dan sosial masyarakat sangat mempengaruhi pola budidaya padi dan aplikasi teknologi yang diterapkan. Sehingga tipe penggunaan lahan untuk padi di Indonesia sangat beragam.