Padi awalnya
dibudidayakan di daerah pelembahan Asia daratan (Thailand, Burma,
Laos, India, dan lain-lain). Budidaya padi ini kemudian menyebar ke berbagai
daerah lainnya, baik tropika maupun subtropika, termasuk Indonesia. Padi tidak hanya
ditanam sebagai padi sawah, namun ada juga sebagai padi gogo atau padi ladang.
Pola pertanaman kedua jenis padi ini jelas berbeda, demikian juga tingkat
kesesuaian lahannya. Namun, varietas-varietas tertentu dapat ditanam pada kedua
sistem tersebut.
Menurut Ahn (1993)
dalam Situmorang dan Sudadi (2001), terdapat 5 (lima) pola pertanaman padi yang
utama didaerah tropik, yaitu : irigasi, tadah hujan, sebar langsung pada sawah
irigasi, padi apung, dan pemanfaatan air hujan di daerah dataran tinggi/daerah
berbukit.
Umumnya
padi ditanam pada lahan yang disebut sawah. Sawah adalah tanah yang dibatasi
dengan pematang yang digunakan sebagai area penanaman padi yang diairi dengan
pengairan teknis atau tadah hujan. Pada musism-musim tertentu, sawah tidak
hanya digunakan untuk bertanam padi, tapi juga digunakan untuk bertanam
palawija. Istilah sawah bukan merupakan taksonomi, akan tetapi merupakan
istilah yang menggambarkan jenis penggunaan tanah, hal ini dapat disejajarkan
dengan istilah Forest soil dan grasslandsoil.
Di
Indonesia, sawah diusahakan pada jenis-jenis tanah : Entisol, Inceptisol,
Vertisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol, yang menyebar luas di Jawa, Bali,
Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (terutama Sulawesi Selatan).
Sifat-sifat tanah tersebut apabila disawahkan sangat dipengaruhi oleh suber
bahan asalnya. Menurut
Supraptohardjo dan Suharjo (1970) dalam Situmorang dan Sudadi (2001), jenis
tanah yang banyak digunanakan untuk persawahan adalah Aluvial dan Gleisol. Hal
ini disebabkan faktor air dan fisiografinya yang paling memungkinkan. Jenis
tanah lainnya umumnya terdapat pada fisiografi berombak sampai berbukit,
sehingga kurang memungkinkan untuk disawahkan. Namun, akhir-akhir ini telah
banyak lahan yang dibuka untuk persawahan pada daerah-daerah berlereng dengan
pembuatan teras-teras, walaupun luasannya relatif sempit.
Umumnya
tanah sawah di Indonesia berasal dari lahan kering dan lahan rawa-rawa. Tanah
sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit,
kadang-kadang sampai bergunung. Pembuatan teras dilakukan pada tanah-tanah
seperti ini, kemudian lahan diairi dengan air irigasi atau air hujan. Sawah
seperti ini banyak terdapat di Jawa, Bali, Lombok, Lampung, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan tanah sawah yang berasl dari
lahan rawa-rawa dapat berupa sawah lebak dan sawah pasang surut. Sawah seperti
ini banyak dijumpai di Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Persyaratan
utama dalam penggunaan suatu lahan untuk dijadikan sawah adalah ketersediaan
air. Persyaratan tersebut kemudian dikembangkan untuk kepentingan pendugaan
produksi, perencanaan dan pengadaan sarana produksi, sehingga faktor-faktor
persyaratan tersebut diperinci. Menurut Dent (1978), usaha penetapan kualitas
lahan untuk penggunaan tertentu ditentukan oleh faktor-faktor berikut :
- Topografi : kemiringan lahan, dalam profil efektif, tebal lapisan olah
- Fisik tanah : tekstur tanah, mineral liat, permeabilitas, perkolasi, daya olah tanah
- Karakteristik air tanah : kandungan air tanah, muka air tanah, drainase, genangan air/banjir
- Kimia tanah : kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, pH, bahan organik, hara tersedia, potensi redoks.
- Faktor pembatas : lapisan sulfur, lapisan laterit, kemasaman, salinitas, alkalinitas, konduktivitas.
Di Indonesia
permasalahan yang sering terjadi pada tanah yang disawahkan antara lain : iklim (musim kemarau), topografi (hubungannya
dengan tingkat bahaya erosi), dan sifat tanah (kandungan hara yang tidak
seimbang).
Pada daerah-daerah
dengan curah hujan rendah atau tidak memiliki saluran irigasi, pola penanaman
padi umumnya disesuaikan dengan ketersediaan air, yaitu air hujan. Pola
budidaya padi yang diterapkan adalah tadah hujan. Pola ini banyak diterapkan di
daerah Indonesia bagian timur, dan daerah lain yang tidak terdapat jaringan
irigasi.
Pada pola tadah
hujan, pengolahan tanah dilakukan pada akhir musim kemarau, hal ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhan padi, terutama pada awal
pertumbuhan. Pengolahan tanah dilakukan dengan pembuatan galangan-galangan
untuk dapat menahan kehilangan air melalui aliran permukaan (run off). Selain itu, petani juga
membuat tempat penampungan air hujan (embung)
sebagai cadangan air irigasi. Penanaman padi umumnya dilakukan dengan cara
tugal yang dilakukan setelah hujan turun beberapa kali sehingga pada saat padi
muali tumbuh petakan sudah tergenang air.
Pola budidaya lain
yang dapat ditemukan di Indonesia adalah padi lebak (rawa non pasang surut).
Genangan air pada lebak sangat tergantung pada musim. Pada tipe lahan tertentu,
genagan hanya terjadi pada musim hujan saja. Faktor pembatas utama untuk
budidaya padi pada lahan ini adalah genangan air (bahaya banjir). Untuk
mengatasi bahaya banjir, petani membangun tanggul-tanggul pencegah banjir.
Tanggul-tanggul ini dubuat sepanjang sungai. Saluran irigasi dibuat di belakang
tanggul-tanggul penahan banjir. Saluran irigasi tersebut dibuat untuk menampung
aliran permukaan dari lahan, pada saatnya air ini akan digunakan kembali
sebagai sumber irigasi pada petakan sawah. Pada pola budidaya
padi di lahan lebak, penanaman padi dilakukan pada akhir musim hujan, yaitu
pada saat air genangan mulai turun. Lebak biasanya tidak akan ditanami bila
genangannya masih tinggi.
Keragaman kondisi fisik lahan dan sosial masyarakat
sangat mempengaruhi pola budidaya padi dan aplikasi teknologi yang diterapkan.
Sehingga tipe penggunaan lahan untuk padi di Indonesia sangat beragam.