Jumat, 02 September 2011

Tekonologi Hijau

Saat ini seolah kita dilenakan oleh berbagai kemudahan dari produk teknologi. Teknologi telah memberikan berbagai kemudahan kapada masyarakat terhadap sumber daya. Dalam bukunya yang berjudul “The World is Flat” Thomas L. Friedman mengatakan bahwa, dunia dewasa ini telah berubah menjadi sebuah “dunia yang datar”, dimana teknologi memegang peranan penting dalam memfasilitasi manusia dalam melakukan berbagai aktivitas tanpa batasan. Dengan teknologi manusia akan dengan mudah bertransaksi dan berkolaborasi dimana semua aktivitasnya berujung kepada peningkatan perekonomian dunia.


Tanpa disadari, berbagai kemudahan ini adalah produk dari jenis teknologi yang dikategorikan “red teknologi” yang merupakan teknologi yang masih membutuhkan sumber daya energi dalam mengoperasikannya. Hal ini mengacu pada bahan energi yang digunakan saat ini masih bersumber dari minyak, batubara dan bahan tambang lainnya. Penemuan-penemuan terbaru mengenai teknologi selalu mengacu kepada penemuan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya yang dinilai ekonomis tersebut (baca : bahan tambang). Minyak bumi, batubara, hinggga budidaya tanaman monokultur terus-menerus dieksploitasi guna memenuhi permintaan pasokan terhadap energi yang terus mengalami peningkatan akibat “mendatarnya dunia”. Sistem budidaya tanaman monokultur disebut-sebut sebagai sebuah eksploitasi sumber daya lahan, hal ini mengingat fungsi lahan sebagai suatu penyokong sustainabilitas keseimbangan ekologis harus dikorbankan.

Dalam bukunya Friedman menggunakan istilah “affluenza” yakni istilah untuk situasi dunia saat ini yang tengah mengalami peningkatan daya konsumtif dan ketergantungan terhadap produk teknologi, dalam hal ini “red technology”. Kita semestinya harus berusaha untuk tidak tergantung kepada pilihan sumber daya yang tak terbaharui dan mulai melirik inovasi-inovasi baru terkait penyediaan sumber energi. Jangan sampai kondisi zaman orde baru terulang lagi dimana kita terlalu tergantung kepada pendapatan dari hasil miyak bumi dan bahan tambang lainnya. Eksploitasi yang dilakukan secar terus-menerus dilakukan demi menyokong kebutuhan finansial pembangunan Negara. Kita harus berubah.

Teknologi saat ini belum mengacu kepada konsep “green technology” yang merupakan suatu inovasi kemajuan teknologi yang ramah lingkungan. Green technology is that in which the technology is environmentally friendly and is created and used in a way that conserves natural resources and the environment. Jika diartikan pengertian green technology atau teknologi hijau adalah suatu teknologi yang ramah lingkungan dimana diciptakan dan digunakan untuk tujuan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Teknologi hijau atau dapat disebut juga sebagai teknologi ramah lingkungan merupakan teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Teknologi hijau juga termasuk aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar.

Terdapat 6 (enam) sumber energi yang dapat dimanfaatkan dalam teknologi hijau, yaitu:
  1. Angin, merupakan energi gerak yang secara konvensional sudah digunakan sejak dulu
  2. Biofuel, teknologi ini dinilai mempunyai proses yang panjang dan bertingkat dalam menghasilkan energi. Alga yang dinilai secara genetik dapat menghasilkan bahan bakar minyak, namun secara ekonomi belum memperlihatkan potensi komersialnya. Berbagai penelitian masih mengarah kepada optimalisasi penggunaan alga sebagai sumber energi hijau.
  3. Tenaga ombak, mempunyai potensi sebagaimana tenaga air yang telah dikembangkan dalam PLTA. Namun, penggunaan omabak belum meluas walaupun analisis secara financial menunjukkan potensi yang besar
  4. Tenaga nuklir, yakni energi yang berasal dari reaksi atom. Teknologi ini sudah digunakan oleh beberapa Negara maju. Namun, isu bahaya nya sepertinya lebih kuat daripada kegunaannya.
  5. Energi panas bumi, penggunaan geoterma yang konvensional hanya berupaya mengeluarkan panas yang berada di permukaan bumi. Jika dilakukan pengkajian lebih lanjut, energi panas bumi dapat menjadi sumber energi yang ekonomis.
  6. Penggunaaan energi surya, matahari adalah sumber energi terbesar dan utama bagi kehidupan kita, kita dapat memanen energi matahari secara cuma-cuma dan dengan teknologi yang sederhana. Indonesia sebagai negara yang terletak tepat dibawah garis katulistiwa mempunyai periode untuk memanen matahari lebih besar baik secara kuantitas maupun kualitasnya dibanding dengan kawasan yang tidak dilintasi oleh garis katulistiwa, oleh karena itu penggunaan energi matahari dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang paling “dekat” untuk bisa kita manfaatkan sebagai sumber energi.



Sebuah laporan disusun Roland Berger Strategy Consultants, sebuah perusahaan global yang berbasis di Jerman. Timnya mengumpulkan data 38 negara dari berbagai asosiasi energi, laporan bank dan broker, presentasi investor, Badan Energi Internasional, dan sumber lain. Pendapatan diukur dari produksi energi terbarukan seperti biofuel, turbin angin dan peralatan termal, dan teknologi efisiensi energi seperti pencahayaan rendah energi dan insulasi.

Posisi pertama yang memproduksi teknologi hijau adalah Denmark. Negara itu keluar sebagai jawara dengan memproduksi kincir angin dan berbagai teknologi ramah lingkungan lain. Namun, itu semua tidak berhasil mengalihkan pusat perhatian yang kini tengah menyoroti Cina. Menurut laporan yang dirilis World Wildlife Fund for Nature, pertumbuhan "teknologi hijau" di Negara Cina telah tumbuh dengan luar biasa, sekitar 77 persen setahun. "Cina telah membuat, pada tingkat politik, keputusan penting dan sadar untuk menangkap pasar teknologi hijau ini dan untuk mengembangkan pasar ini dengan sangat agresif," kata Donald Pols, ekonom yang menyertai WWF, seperti dilansir Associated Press, Ahad (8/5).

Bagi sebagian besar masyarakat Cina, perubahan iklim bukan suatu isu ideologis. Bagi mereka perubahan iklim adalah fakta kehidupan. Perdebatan menganai perubahan iklim dan transisi menuju karbon rendah sudah dilewatkan di Cina. Cina berhasil mengalahkan Amerika Serikat dalam persaingan produksi teknologi ramah lingkungan ini. Amerika Serikat harus puas menempati urutan ke-17 dari 38 negara yang dianalisis.

Dalam hal pemakaian ‘red teknologi’ (bahan bakar minyak-red), Negara Amerika Serikat masih bergantung 85% kebutuhan energy dari bahan bakar miyak. Hal ini berkebalikan dengan Swedia dimana pemakaian bahan bakar minyak di Negara ini telah dikurangi menjadi 15%. Sejak tahun 2000 sebagian besar kendaraan di Swedia telah menggunakan ethanol yang diperoleh dari tebu dan selulosa lainnya. Yang menarik, adalah semua perubahan tersebut dilakukan oleh public dan pihak swasta. Tidak ada campur tangan pihak pemerintah dalam pengambilan kebijakan pemakaian teknologi hijau tersebut. Hal tersebut semata-mata sebuah pengambangan inovasi baru dalam teknologi yang diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat.

Sebuah perubahan terhadap pola fikir penggunaan teknologi harus segera dilakukan. Hal ini dapat diatasi dengan adanya kesadaran dari semua pihak untuk mencari dan menggunakan teknologi hijau yang tiada lain untuk aksi penyelamatan lingkungan secara global. Namun, hal ini sepertinya memerlukan suatu perubahan terhadap paradigma yang sangat besar, seperti yang pernah diutarakan oleh Johns Hopkins, seorang pakar kebijaksanaan luar negri dari University Michael Madelbaum, bahwa “orang tidak akan berubah ketika kita mengatakan bahwa mereka harus berubah. Mereka akan berubah ketika mereka sadar bahwa mereka harus berubah”. Untuk itu, kita tidak bisa hanya mengatakan bahwa Negara kita harus segera mengubah konsep teknologi, kesadaran untuk mengubah konsep teknologi sendirilah yang harus kita dihidupkan.

(dikutip dari berbagai sumber)

Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran...


Jumat, 19 Agustus 2011

Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri China

Orang Barat itu hebat dalam hal penelitian dan penemuan. Mereka meneliti sampai bisa menemukan listrik, kereta api, silinder, dsb. Adapun masalah berdagang dan mencari rezeki, jagonya adalah China. Bangsa China ini pekerja keras dan pekerja cerdas. Ini terlihat dari kenyataan kalau ayahnya jualan kacang buntelan, maka pada saat anaknya nanti, usahanya sudah menjadi pabrik kacang. Untuk itu, pantaslah Cina menyandang predikat sebagai enterpreneurship nomer satu di dunia. Sedangkan kalau makan tapi tidak kerja, jagonya adalah orang Indonesia. Jadi, orang Indonesia itu maunya, kalau kerja tidak berkeringat, tapi kalau makan, harus berkeringat. Berarti di sini kita mengalami hambatan budaya untuk maju.

Seandainya ibadah, tauhid, dan akhlaq kita digandengkan dengan etos kerjanya orang China, maka saya kira, itulah yang dimaksud oleh Hadits Rasulullah SAW:

“Bekerjalah untuk duniammu, seakan-akan engkau hidup selamanya; dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari”

Orang China di sana jarang omong. Mereka ngomong seperlunya, karena pekerjaan lebih mereka dahulukan. Berbeda dengan disini, berbincang sudah menjadi tradisi yang sulit dihindari. Belum apa-apa kita sudah sarapan pagi dengan gossip sambil minum dan makan cemilan, hal ini bisa berlangsung berjam-jam. Bahkan ada budaya salah satu suku dimana kaum laki-laki seolah-olah diharuskan duduk berlama-lama di warung kopi, sekedar menambah pergaulan. Ini disebut dengan wasting time (menyia-nyiakan waktu), padahal di dalam Hadits disebutkan bahwa orang yang menyia-nyiakan waktu atau hidupnya, berarti dia sedang disia-siakan oleh Allah SWT.

Dalam hal etos kerja, Islam mengajarkannya melalui Hadist Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW ditanya: "Rezeki apa yang paling baik?", beliau menjawab; "Rezeki terbaik adalah rezeki hasil tangannya sendiri". Kadang-kadang, karena orang tua masih cukup, maka seseorang nebeng kepada orang tua, sementara dia sendiri tidak ada mempunyai kreativitas; sehingga begitu ditinggal oleh orang tuanya, dia akan kelabakan.

Kembali ke China, dimana perusahaan-perusahaan besar milik orang China di Indonesia, rata-rata Grand Manager-nya berusia di bawah 40 tahun. Misalnya: Gudang Garam, Djarum, dsb. Perusahaan-perusahaan itu sudah tidak dipegang oleh ayahnya, karena ayahnya sudah menjadi konsultan, sedangkan yang menjadi eksekutif commite-nya adalah anak-anaknya.

Sebenarnya, perintah melihat bangsa China adalah bagian dari Hadits yang menyatakan bahwa hikmah itu adalah milik orang mukmin. Kalau hikmah itu kececer pada orang lain, maka hikmah itu adalah milikmu. Jangan karena tidak Islam, lalu kamu memusuhi mereka. Karena mutiara itu kececer dan dipegang oleh orang lain, maka ambil kembali hikah itu. Contoh: Penelitian itu kan perintah Islam, lalu kenapa kita tidak memakai hasil penelitian orang Eropa?. Dulu, sebelum orang Eropa maju, yang bisa meneliti dalam bidang kedokteran, matematika, gizi, dsb. diteliti oleh ulama'-ulama' Islam. Oleh karena itu, ambillah hikmah dari mana saja, asal hikmah itu benar menurut syariat Islam.

Jadi, tidak bagus kalau ada orang yang membeda-bedakan antara daerah Islam dengan daerah yang tidak Islam. Karena di daerah Islam itu ada tauhid, namun ada kelemahan; sedangkan di daerah yang tidak Islam, ada kekufuran, namun ada kelebihannya. Hanya saja, sampai hari ini, orang-orang Timur Tengah, masih juga membagi peta antara Negara Islam dengan Negara tidak Islam, padahal mutiara-mutiara Islam sebagai agama, telah tercecer di sana-sana, karena tidak dipegang oleh orang muslim di negara Islam itu sendiri.

Diantara Negara-negara maju, China memang special. Bagaimana tidak?! mereka punya sesuatu, tapi tidak mau pakai; mempunyai etos kerja tinggi, tetapi hidup sederhana; barang yang terbaik untuk dijual, sedangkan yang asal jadi, dipakai sendiri. Mereka juga jarang yang mau pakai sepeda motor, karena mengakibatkan polusi dan tidak sehat. Maka dari itu, umur mereka panjang-panjang. bahkan mencapai usia lebih dari 100 tahun.

China mungkin merupakan satu-satunya Negara komunis yang maju. Rusia yang merupakan dedengkot komunis dunia, dimana mereka telah bertahan dengan fahamnya selama 70 tahun, namun kemudian ambruk. Reformasi tidak membantu kehancuran perekonomian Rusia. Berbeda dengan China, dimana setelah direformasi, Negara ini malah melejit, padahal kedua Negara ini berangkat dari faham yang sama-sama komunis. Kemajuan ini tidak lain disebabkan oleh aplikasi budaya China pada system perekonomian dan kehidupan sehari-hari. Orang China selalu menerapkan bahwa biaya makan harus kurang dari penghasilan; sementara orang Rusia, biaya makan melebihi kapasitas hasil kerjanya (besar pasak daripada tiang). Disini terlihat bahwa etos kerja di kedua Negara jauh berbeda walaupun faham mereka sama. Saat ini, orang China berbondong-bondong pergi ke Moskow untuk menggarap lahan pertanian-pertanian yang banyak ditinggalkan karena kekurangan sumberdaya. Sehingga sekarang ini Rusia tampaknya berada di bawah kendali RRC.

China juga menjadi ancaman Amerika berkaitan dengan laju industrinya yang pesat. Para pengusaha Amerika sangat khawatir dengan ekspansi perdagangan China, dimana hamper pangsa pasar diwarnai produk China. Kekhawatiran ini membawa seorang pengusaha asal Negara adidaya itu meminta dengan hormat supaya China itu tidak mengekspor barang-barang seperti sekarang ini, karena kalau ini diteruskan, maka perekonomian Negara adidaya tersebut akan ambruk dalam 5 tahun. Jawaban orang China waktu itu adalah : "Saya tidak ingin mengekspor barang saya, kalau rakyat Anda tidak ingin membeli barang saya". Dengan demikian mereka tidak saja mengusai pasar dengan ekspansi barang dalam jumlah besar, tapi juga ekspansi dalam pemenuhan kebutuhan konsumen, produk China rata-rata menjawab kebutuhan konsumen dalam harga yang lebih terjangkau. Tidak ada nilai jual lain kecuali ini.


Re upload dari millis unpadstaff, disadur dari berbagai sumber.

Jumat, 15 April 2011

Roseto

Malcolm Gladwell menulis buku yang berjudul ‘outliner’ yang mengisahkan cerita di balik kesuksesan orang-orang hebat yang tidak biasa. Pada cerita pengantarnya dikisahkan mengenai sebuah kota kecil di kawasan Pennsylvania yaitu Roseto. Roseto adalah sebuah kota kecil di sebelah timur Pennsylvania dimana penduduknya terdiri dari para imigran dari Italia.



Roseto diambil dari asal daerah mereka Roseto Valfortore yang terletak seratus mil tenggara kota Roma di pegunungan Apennie, provinsi Foggia, Italia. Pada awal abad 19 orang Roseto berbondong-bondong menuju Amerika. Di Negara ini mereka bermukim di Bangor, dan bekerja pada tambang batu. Mereka kemudian membuat pemukiman di sisi pegunungan batu yang bisa dicapai dari Bangor dengan berkendaraan kereta kuda melalui jalanan yang juram dan terjal. Pada awalnya mereka menamai kota kecil mereka New Italy, tetapi kemudian diubah menjadi Roseto yang dirasa lebih pantas mengingat asal mereka berasal dari desa yang sama di Italia.

Ada suatu hal yang menarik dari kota kecil ini yang diungkap oleh seorang dokter yang sedang menghabiskan liburannya di kawasan pertanian di Pennsylvania yang tidak jauh dari Roseto, Dr. Stewart Wolf. Sang dokter merasa takjub dengan kenyataan yang ditemukan di Roseto bahwa dia jarang menemukan penduduk Roseto di bawah usia 65 tahun yang mengidap penyakit jantung. Saat itu masih tahun 1950-an dimana berbagai obat penurun kolestrol dan pengobatan yang agresif untuk mencegah timbulnya penyakit jantung belum ditemukan. Saat itu serangan jantung sudah menjadi epidemic di Amerika Serikat dan menjadi penyebab kematian utama bagi kaum pria dibawah usia 50 tahun.

Beranjak dari fakta tersebut Dr. Wolf dibantu oleh beberapa murid dan rekannya melakukan penelitian. Dalam penelitian ini dikumpulkan sertifikat kematian dari penduduk Roseto. Analisis dilakukan terhadap penyebab kematian dan sejarah kesehatan dan geneakologi keluarga di kota itu. Sampling dilakukan pada contoh darah dan EKG yang dilakukan terhadap seluruh penduduk Roseto. Pengambilan sample dilakukan selama 4 minggu. Penelitian dilakukan pada tahun 1961. Hasil penelitian benar-benar mengejutkan.

Di Roseto, praktis tidak ada orang dibawah usia lima puluh tahun yang meninggal akibat serangan jantung atau tanda-tanda penyakit jantung. Untuk orang diatas 65 tahun, tingkat kematian karena jantung di Roseto sekitar ½ dari seluruh Amerika Serikat. Tingkat kematian karena berbagai penyebab di Rosseto sekitar 30-35 % di bawah dugaan.

Pada penelitiannya Wolf menyertakan rekannya seorang sosiolog bernama John Bruhn untuk menolongnya. Wawancara dilakukan oleh mahasiswa kedokteran dan mahasiswa pasca sarjana Sosiologi. Mereka berkunjung dari rumah kerumah dan melakukan wawancara dengan penduduk yang berusia minimal 21 tahun.

Tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, tidak ada kecanduan obat terlarang, dan sangat sedikit tindak kejahatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak ada catatan yang menderita luka lambung. Kesimpulannya adalah orang-orang tersebut meninggal akibat sudah uzur. Itu saja.

Dalam hal ini Dr. Wolf menemukan bahwa Roseto merupakan tempat di luar pengalaman manusia normal, dimana atuaran normal tidak ditemukan di tempat itu. Roseto adalah sebuah outlier.

Dr. wolf kemudian meneliti cara makan dari penduduk Roseto, dengan asumsi bahwa warga Roseto pasti menjalankan sejenis pengaturan makanan dari ‘dunia lama’ yang membuat mereka lebih sehat dari kebanyakan orang Amerika lainnya. Namun, hipotesanya ternyata keliru. Warga Roseto memasak makanan dengan lemak babi, bukan dengan minyak zaitun yang lebih sehat seperti yang biasa mereka lakukan sewaktu di Italia. Pizza di Italia dibuat dalam bentuk lempengan roti tipis dengan garam, minyak, dan mungkin tomat, ikan kering kecil, atau bawang. Pizza di Pensylvania dibuat dalam bentuk lempengan roti tebal dengan tambahan sosis, daging pepperoni, salami, ham, dan kadang-kadang telur. Kudapan yang manis-manis seperti biscotti dan taralli biasanya disimpan untuk hari Natal dan Paskah, di Roseto kudapan ini biasa dimakan kapanpun. Kemudian Dr. Wolf mendatangkan ahli diet untuk menganalisis kebiasaan konsumsi makanan warga Roseto. Mereka menemukan bahwa 41 % kalori yang mereka dapatkan berasal dari lemak. Warga di kota inipun jarang melakukan yoga dan berlari pagi sejauh enam mil di udara yang dingin secara konsisten. Warga di Pensylvania sebagian besar perokok berat dan banyak diantaranya bermasalah dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Pola makan dan olahraga ternyata tidak dapat menjelaskan fakta yang ditemukan.

Penelitian kemudian diarahkan kepada genetika. Warga Roseto adalah sekelompok orang yang sangat dekat yang berasal dari daerah yang sama di Italia. Dr. Wolf menduga bahwa warga berasal dari garis keturunan yang sama yang menyebabkan mereka dilindungi dari potensi penyakit tertentu. Untuk itu penelitian juga dilakukan terhadap anggota keluarga Roseto yang tinggal di luar Pensylvania. Ternyata tidak.

Dia kemudian menyelidiki ke tempat dimana warga Roseto tinggal. Apakah mungkin ada sesuatu di lingkungan pebukitan yang mereka diami di Pennsylvania timur yang bagus untuk kesehatan mereka? Dua kota yang terletak paling dekat dengan Roseto adalah Bangor, yang terletak di bawah bukit, dan Nazareth, beberapa mil jauhnya. Kedua kota ini memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan Roseto dan didiami oleh imigran Eropa yang sama pekerja kerasnya dengan warga Roseto. Dr.Wolf meneliti catatan kesehatan kedua kota tersebut. Untuk pria di atas 65 tahun, tingkat kematian akibat serangan jantung di Nazareth dan Bangor ternyata tiga kali lipat dibandingkan dengan Roseto. Dr Wolf mengalami kebuntuan lagi.

Dr. Wolf mulai menyadari bahwa rahasia di Roseto bukanlah pola makan atau olahraga atau gen atau lokasi. Rahasianya pasti di Roseto itu sendiri.

Saat Dr. Wolf dan rekannya berjalan-jalan di Roseto, mereka menemukan jawabnnya. Mereka melihat bagaimana warga Roseto saling berkunjung antara satu dengan yang lain, berhenti untuk mengobrol dalam bahasa Italia di jalanan, mereka juga sering memasak untuk tetangganya di halaman belakang rumahnya. Selain itu Dr. Wolf juga mempelajari tentang berbagai klan di keluarga besar yang menjadi penopang struktur sosial kota tersebut. Mereka melihat berapa banyak rumah yang ditinggali tiga generasi keluarga, dan seberapa besar rasa hormat yang didapat oleh para kakek nenek.

Warga Roseto mempunyai etos egaliter dalam hidup bermasyarakat, dimana orang-orang kaya tidak memamerkan kekayaannya, dan orang-orang yang kurang sukses menguburkan segala kegagalannya. Penerapan kebudayaan paesani dari Italia selatan ke pebukitan di Pennsylvania timur, penduduk Roseto telah menciptakan sebuah struktur sosial yang hebat dan protektif yang mampu melindungi mereka dari tekanan dunia modern. Warga Roseto hidup sehat karena tempat asal mereka, karena dunia yang telah diciptakan untuk mereka sendiri di kota kecil mungil di pebukitan.

Secara konvensional, menjalani kehidupan yang panjang sangat tergantung kepada siapa diri kita (maksudnya gen yang kita punya). Kehidupan tergantung kepada keputusan yang kita buat, hal ini meliputi : makanan apa yang kita makan, seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk berolah raga, dan seberapa banyak sistem medis merawat kita. Dalam hal ini tidak ada yang pernah memikirkan kesehatan yang melibatkan komunitas.

Dr. Wolf kemudian menyarankan kepada dunia kedokteran agar melihat kesehatan dan serangan jantung dalam cara yang baru. Dokter harus menyadarkan orang-orang untuk melihat keluar dari individu. Mereka harus memahami budaya yang menjadi bagian dari dirinya, dan siapa teman dan keluarganya, asal kota keluarganya. Mereka harus menghargai pemikiran bahwa nilai dari dunia yang kita alami dan orang-orang dari sekeliling kita memiliki efek yang sangat besar atas siapa diri kita.

Jumat, 08 April 2011

Salak Tasuk

Kamis, 31 Maret 2011. Cuaca cukup cerah, LV 18 melaju ke arah pos gabungan untuk selanjutnya masuk ke Desa Tasuk, setelah mendapatkan izin dari security. Desa Tasuk adalah perkampungan terdekat dengan lokasi pertambangan PT. Berau Coal. Desa Tasuk terdiri dari 3 (tiga) kampung, Kampung Tasuk Atas, Kampung Tasuk Tengah, dan Kampung Tasuk Bawah. Sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan bekerja di PT. Berau Coal.
Kami masuk dari Kampung Tasuk Atas, setelah hutan rawa, jalan berbelok ke kanan, terlihat sawah yang sudah siap panen. Sayang, sawah terendam karena selama 4 (empat) hari berturut-turut hujan turun, karena itu padi masih tampak hijau walaupun biji padi sudah terlihat bernas. Kiri kanan jalan diwarnai dengan suasana kampung dimana rumah penduduk berselang dengan kebun. Ada yang menarik disini, di beberapa titik terlihat kebun salak, sesuatu yang ganjil menurut pemikiranku. Namun, terlihat pohon salak tidak berbuah, hal ini selaras dengan kondisi kebun yang tidak terawat.
Perjalanan dilanjutkan menuju kampung Tasuk Tengah. Kami bertandang ke rumah Pa Ribut, seorang petani salak. Lahan yang dikelola seluas 1 Hektar, sebagian salak yang ditanam merupakan salak pondoh. Pa Ribut merupakan petani binaan dari Community Development PT Berau Coal. Diantara banyaknya jenis usaha tani yang dikembangkan di Desa Tasuk ini, Salak dinilai potensial untuk dikembangkan di Desa Tasuk.


Umumnya salak yang berkualitas ditemukan dikawasan lereng gunung seperti Sleman (lereng gunung Merapi) yang terkenal dengan salak pondoh, salak bali yang dikenal dengan salak gula pasir di lereng Gunung Agung, dan salak Manonjaya di kaki Gunung Galunggung Tasikmalaya. Di tinjau dari jenis tanahnya, ketiga tempat ini memiliki tipikal tanah yang dapat dipastikan subur, mengingat adanya pengaruh abu vulkanik. Salak atau nama latinnya Salacca edulis mempunyai syarat tumbuh sebagai berikut :

  1. Tanaman salak sesuai bila ditanam di daerah berzona iklim Aa bcd, Babc dan Cbc. A berarti jumlah bulan basah tinggi (11-12 bulan/tahun), B: 8-10 bulan/tahun dan C : 5-7 bulan/tahun.

  2. Salak akan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah. Berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi.

  3. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50-70%, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh.

  4. Suhu yang paling baik antara 20-30°C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi, tetapi tidak tahan genangan air.

  5. Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur dan lembab.

  6. Derajat keasaman tanah (pH) yang cocok untuk budidaya salak adalah 4,5 - 7,5.
  7. Kebun salak tidak tahan dengan genangan air. Untuk pertumbuhannya membutuhkan kelembaban tinggi.

  8. Tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100-500 m dpl.

Yang menarik disini adalah kebun salak Pa Ribut yang terletak di Kampung Tasuk Tengah dengan kondisi lingkungan yang jauh berbeda dengan tempat asal salak pondoh (Sleman) ataupun salak unggulan lainnya. Tanah-tanah disini memiliki fluktuasi genangan musiman, dengan jenis tanah yang tergolong Podzolik, genangan air akan memperburuk kondisi tanah sehingga drainase tanah menjadi buruk. Pa Ribut menyiasati kondisi ini dengan membuat saluran drainase berupa parit-parit di tengah kebunnya. Hal penting lainnya adalah umumnya salak menyukai tanah yang subur.
Desa Tasuk, seperti jenis tanah yang terdapat di Kalimantan termasuk jenis tanah yang kurang subur, ditandai dengan sifat fisik (warna yang cerah) dan jauh dari pengaruh abu vulkanik. Dalam hal ini Pa Ribut tidak melakukan ameliorasi ataupun pemupukan secara intensif. Ini sangat menarik.
“Saya pupuk dengan urea, kadang NPK, itupun jika ada sisa pupuk dari pemupukan tanaman lain”
Bermodal pengetahuan dan bibit salak pondoh yang didapat langsung dari Sleman, Yogyakarta Pa Ribut mulai mengembangkan salak pondoh di Desa Tasuk. Ilmu yang diperoleh mulai diterapkan. Harapannya dengan bibit yang sama, dan teknik budidaya yang sama makan hasilnya akan sama. Namun, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan dugaan.
“Saya pernah putus asa, karena pohon-pohon salaknya tidak berbuah dengan baik. Ingin rasanya saya tinggalkan kebun ini dan ikut bekerja di pertambangan seperti yang lain. Namun, saya sudah telanjur untuk mengembangkan salak”
Dengan ketekunannya Pa Ribut mulai memperbaiki cara budidaya salaknya. Misalnya, di Yogya anakan (tunas) tidak dibuang dan dibiarkan tumbuh, hal ini tidak berlaku di Desa Tasuk, anakan (tunas) baru yang terlalu banyak dapat menghambat produksi salak. Penjarangan harus dilakukan untuk menjamin adanya ruang untuk bunga salak. Jumlah dahan (tandan) yang dibiarkan di Yogja berjumlah 9 (dihitung dari daun termuda/teratas) di Tasuk, tandan yang dibiarkan harus lebih banyak, mencapai 12 tandan, hal ini untuk memberikan kesempatan bunga (bakal buah salak) yang lebih banyak pada bagian bawah.

Hal menarik lainnya adalah upaya mengawinkan bungan salak. Hal ini sedikit aneh mengingat salak adalah tanaman kleistogami atau berumah dua, dimana bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu pohon. Pembuahan sebenarnya bisa terjadi secara alami, tanpa bantuan manusia. Namun, saya berfikir disinilah letak keberhasilan Pa Ribut mengembangkan salak.

Salak pondoh di Desa Tasuk tidak akan berbuah dengan lebat dan manis tanpa proses pembuahan yang dibantu oleh Pa Ribut. Pa Ribut mengambil serbuk sari dari pohon jantan pilihan yang ditanam di tempat lain, yang kemudian dibubuhkan di atas putik bunga betina.

Kesabaran dan ketekunannya mempelajari dan mengembangkan budidaya salak ternyata berbuah manis. Manis dalam konteks sebenarnya dimana buah salak yang dihasilkan manis-manis, semanis salak pondoh, dan manis dalam arti berhasil, dimana salak-salaknya berbuah dengan lebat, satu pohon salak bisa menghasilkan 5-10 tandan, jika ditimbang minimal 4 Kg per pohon per panen. Salak tidak mempunyai musim. Pohon salak akan mulai berbuah 2-3 tahun setelah tanam, setelah itu panen dapat dilakukan 10 (sepuluh) hari sekali.Pemasaran buah salaknya sendiri ternyata tidak mengalami kesulitan.

“Salaknya ya dijual sendiri saja ke tetangga-tetangga, baru kalau berlebih sekarung dua karung saya jual ke Teluk (desa yang terletak disebrang Desa Tasuk)”
Dengan demikian potensi pasar masih terbuka luas, mengingat Salak Pa Ribut belum sampai memenuhi kebutuhan pasar. Namun, ketika ditanya apakah ingin mengembangkan kebun salaknya, Pa Ribut dan Istri mengeluh.
“Saya ngurus kebun segini aza sudah repot. Butuh waktu seharian untuk mengurus kebun ini, pemeliharaan kebun dilakukan setiap hari, jadi tidak ada waktu lagi untuk membuka lahan baru”
“Satu saja kendala saya, saya ga punya teman untuk mengelola kebun salak”
“Yang lain lebih memilih untuk bekerja di perusahaan”
Menarik sekali.
Dari pengalaman ini, saya banyak belajar bagaimana budidaya salak. Pa Ribut memulai usaha salak ini boleh dibilang dari nol, hal ini mengingat cara budidaya yang diterapkan merupakan inovasi yang ditemukan sendiri oleh Pa Ribut. Ketekunan Pa Ribut dalam mempelajari budidaya salak sepertinya menjadi kunci sukses keberhasilan budidaya salak pondoh di Desa Tasuk.
Keterbatasan sumberdaya fisik lahan dan lingkungan adalah tantangan untuk sebuah keberhasilan. Semoga keberhasilannya menjadi inspirasi untuk bagi petani lainnya.
Bagaimanapun, sesuatu yang dilakukan dengan kecintaan dan kesabaran akan berbuah manis.


Selasa, 29 Maret 2011

Tanah Bermasalah

Umumnya tanah bermasalah ditinjau sebagai tanah dengan kendala-kendala biofisik dalam penggunaan lahan untuk pertanian. Kendala biofisik tersebut diantaranya :

1. Permasalahan di Tanah-tanah Rawa

  • Tanah gambut dengan kadar air yang tinggi dan ketebalan bahan organik yang merupakan masalah utama yang mengakibatkan kemasaman tanah yang tinggi, sehingga terjadi kekahatan unsur-unsur hara bagi tanaman.
  • Tanah Sulfat Masam dengan ciri khas adanya bahan sulfidik di bawah permukaan. Ancaman yang paling berbahaya dari tanah ini adalah cekaman pH yang sangat masam (< 2) akibat oksidasi bahan sulfidik.

2. Permasalahan di Tanah-tanah Mineral

  • Tanah-tanah dengan n-value rendah (tanah-tanah muda) Tanah-tanah ini merupakan tanah yang belum berkembang, permasalahan timbul jika tidak terbentuk solum dengan ketebalan yang memadai untuk menopang perakaran tanaman
  • Tanah-tanah masam (pH < 5) Sebagian besar tanah yang ada di Indonesia bereaksi masam. Tanah-tanah tersebut merupakan tanah yang telah terlapuk lanjut atau tanh-tanah tua yang pada umumnya tanah ini akan mengalami kesulitan dalam penyediaan unsur hara makro. Tanah yang paling terlapuk lanjut adalah oxisol, yang dikenal mempunyai sifat yang buruk dari kimia, namun secara fisik relatif bagus. Tanah ini ditandai dengan solum yang dalam (mencapai > 3 meter), yang terpenting adalah nilai KTK yang sangat rendah (< 6 me/100g).
  • Tanah-tanah salin Kendala pengembangan tanah-tanah ini adalah tingginya kandungan garam-garam, dan pH yang tinggi (basa). Tingginya kadar garam dapat menghambat pertumbuhan akar tanaman
  • Tanah-tanah terpolusi senyawa tertentu, contoh: limbah (industri atau rumah tangga) Tanah seperti ini biasanya disebut sebagai tanah tercemar. Kandungan unsur atau senyawa yang melebihi ambang batas akan berakibat pada keracunan pada tanaman. Tanah-tanah tersebut mungkin menjadi kendala dalam pengembangan pertanian, namun dari sudut pandang yang lain tidak bermasalah, atau bahkan menjadi potensi dalam pengembangan pengelolaan lahan tertentu. Sebagai contoh : tanah gambut dengan kadar air tinggi sangat berpotensi dalam bidang perikanan. Contoh lain adalah tanah salin dan tanah bekas tambang, pengelolaannya sebaiknya dialokasikan menjadi sarana rekreasi.

Jadi, biofisik saja bukan satu-satunya parameter untuk menentukan tanah bermasalah atau tidak. Pandangan terhadap tanah-tanah bermasalah juga menjadi sangat relatif jika dihubungkan dengan sudut pandang dari berbagai bidang. Perkembangan teknologi telah dapat menjawab sebagian masalah dari tanah dalam berbagai tingkat penggunaan lahan.

Contoh sederhana adalah pengapuran dan pemupukan pada tanah-tanah masam yang miskin unsur hara. Berbagai teknologi telah dikembangkan, namun dalam pemanfaatannya penggunaan teknologi ini akan sangat relatif terhadap tingkat usaha dan nilai ekonomis yang akan diperoleh dari lahan setelah diberikan teknologi. Namun, aplikasi teknologi juga harus memperhatikan keseimbangan terhadap ekosistem disekitarnya. Pandangan terhadap tanah-tanah bermasalah harus berdasarkan pandangan bahwa tanah memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu :

1. Bio production material ; Tanah memiliki fungsi sebagai faktor pendukung dalam produksi bahan-bahan kebutuhan manusia (pangan, sandang, dan papan)

2. Construction facility ; Tanah sebagai tempat berdirinya berbagai fasilitas pendukung kehidupan manusia seperti pemukiman, jalan, pasar, dll.

3. Sustaining ecosystem; Tanah sebagai bagian dari ekosistem yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya.

Tanah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dari setiap fungsi di atas. Untuk menjamin keseimbangan dalam pemenuhan fungsi-fungsi tersebut diperlukan sebuah pengaturan tata ruang, yang menempatkan penggunaan lahan sesuai dengan daya dukung tanahnya. Pengaturan tata ruang terhadap pemanfaatan tanah harus dilakukan dalam sebuah satuan ekosistem, dalam hal ini satu satuan DAS (Daerah Aliran Sungai). Penggunaan lahan harus diatur agar suatu ekosistem terdapat dalam keseimbangan alaminya. Analisis terhadap tanah-tanah bermasalah harus dilakukan berdasarkan fungsinya dalam sebuah ekosistem. Analisis ini diharapkan dapat menilai tanah-tanah bermasalah dari berbagai sudut pandang.

Minggu, 27 Maret 2011

Tanah dan Kehidupan Manusia

Tanah merupakan istilah tertua dalam pembendaharaan bahasa Indonesia, yang dapat diterjemahkan ke dalam tiga makna, yaitu :

  1. Tanah sebagai media alami bagi pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini perhatian lebih kepada kualitas tanah dalam hal tingkat kesuburannya. Dokuchaiev (1870) dalam Soil Survei Staff, 1975, menyatakan tanah (a soil) adalah suatu benda alami berdimensi tiga (panjang, lebar, dalam) terletak pada bagian paling atas kulit bumi, yang mempunyai sifat-sifat berbeda dari bahan bawahnya sebagai hasil kerja interaksi antara iklim,kegiatan organisme, bahan induk, dan relief, selama waktu tertentu. Morfologi setiap tanah, seperti diperlihatkan oleh sifat-sifat penampang vertikal berupa horizon-horizon, mencerminkan pengaruh bersama segugus faktor yang mempengaruhi perkembangannya.
  2. Tanah dipandang sebagai regolith atau bahan hancuran iklim berasal dari batuan atau bahan organik yang diperlakukan sebagai bahan galian atau tambang dan bahan bangunan. Dalam makna ini tanah dinyatakan dalam satuan berat (kg, ton) atau volume (m3).
  3. Pada makna ketiga, tanah diperlakukan sebagai ruangan atau tempat di permukaan bumi yang dipergunakan oleh manusia untuk melakukan segala macam kegiatan. Dalam makna ini tanah dinilai berdasarkan luas (ha, m2).

Makna pertama dan kedua ekivalen dengan kata soil dalam bahasa inggris, sedangkan makna ketiga lebih mendekati makna land, yang kemudian diterjemahkan sebagai lahan. Lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk juga didalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinisasi (FAO, 1976).
Dengan demikian, kata tanah dapat dipergunakan dalam makna yang setara dengan lahan, walaupun lahan mengandung makna yang lebih luas dari tanah atau tofografi. Tanah dan lahan harus dipahami sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pemahaman atas salah satu saja akan berdampak kepada pengelolaan lahan yang marginal, yang dapat mengakibatkan kerusakan tanah dan hilangnya fungsi lahan. Nilai Tanah Bagi Kehidupan manusia sangat beragam, hal ini tergantung kepada persepsi dan sudut pandang. Secara keseluruhan nilai tanah bagi kehidupan manusia dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Spasial (3 dimensi); Tanah mengandung pengertian ruang dan tempat. Peranan tanah bagi manusia tidak hanya sebagai tempat bercocok tanam, tapi juga sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Tanah tidak saja mencakup pengertian apa yang terkandung dalam tanah tapi juga terhadap apa yang terdapat di atas permukaan tanah.
  2. Ecological Value; Tanah merupakan komponen dari ekosistem. Tanah merupakan daya dukung terhadap lingkungannya, kualitas tanah dapat mencerminkan kualitas lingkungannya.
  3. Economic; Tanah dapat dipandang sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan, baik sebagai lahan (diperjualbelikan dalam m2) maupun tanah sebagai bahan tambang/galian (diperjualbelikan dalam m3). Tanah juga dapat digunakan sebagai alat investasi. Dalam perhitungan laba rugi perusahaan, tanah dipandang sebagai komponen harta tetap dengan nilai yang fluktuatif.
  4. Sosial; Sebagaimana tanah sebagai komponen lingkungan yang saling berinteraksi satu sama lain, pemilik tanah juga seharusnya bersikap demikian. Sikap saling menghormati antar pemilik tanah terutama dengan tetangganya telah diatur untuk menjaga kelangsungan hidup bermasyarakat.
  5. Budaya; Tanah merupakan akar dari sebuah kebudayaan. Tata cara kehidupan masyarakat banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat tanahnya. Sebagai contoh tata cara pengolahan tanah, perbedaan jenis tanah akan berakibat pada perbedaan pengolahan tanah.
  6. Prestise; Tanah merupakan simbol kekayaan yang dapat dibanggakan oleh pemiliknya. Kepemilikan atas tanah merupakan sumber kebanggaan dan ketenangan bagi pemiliknya.

Dengan demikian, pemahaman tanah tidak hanya terbatas sebagai media tumbuh tanaman saja, namun tanah dapat disebut sebagai inti dari kehidupan manusia. Tanah sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia, demikian juga dengan kehidupan manusia yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup (kelestarian) tanah.

Minggu, 20 Maret 2011

A Great Lonely Tree

Di site penelitianku ada sebatang pohon, mungkin tepatnya bangkai pohon, mengingat pohon tersebut tidak berdaun lagi, hanya batang pohonnya yang menjulang tinggi. Sebagian orang merasa ngeri melihatnya, seperti melihat mayat. Tapi aku melihatnya dengan kagum. Sebatang pohon masih berdiri walaupun tidak terdapat daun sehelaipun pada batangnya.

Pohon Bangris atau Bengaris begitu dia disebut. Pohon dengan nama latin Koompassia excelsa sangat dikenal oleh masyarakat setempat. Bangris adalah pohon yang gagah, tingginya dapat 50-60 meter, jauh melampaui tinggi pohon-pohon lain di hutan. Pohon ini bagi sebagian penduduk merupakan sumber mata pencaharian. Di pohon ini biasanya lebah bersarang dan menghasilkan madu. Tidak hanya itu, batang pohon yang besar dan menjulang tinggi sering menjadi tempat hinggap berbagai macam burung, tidak sedikit dari mereka membuat sarang dibatang dan ranting-ranting pohon tersebut. Peran penting pohon inilah yang membuat keberadaan pohon ini sangat dilindungi oleh masyarakat adat. Denda penebangan pohon ini jauh lebih besar dari pohon-pohon yang lain. Seringkali dikawasan pertambangan pohon Bengaris dibiarkan menjulang sendiri. Tidak sedikit dari mereka mati perlahan karena perakarannya tergenang air asam tambang. Pohon Bengaris yang sudah mati hanya tampak batangnya yang menjulang. Ada keunikan dari pohon ini dimana pohon tidak akan tumbang walaupun sudah mati. Entah karena perakarannya yang kuat atau apa yang jelas pohon tidak akan runtuh atau tumbang. Unik memang mengingat banyak pohon Bengaris yang sudah mati dapat bertahan berdiri sendiri tanpa ada naungan dari angin kencang. Beberapa pohon dihutan sering terlihat tumbang kalau ada hantaman angin kencang walaupun pohon itu masih utuh dengan ranting berdaun lebat. Tidak dengan Bengaris, walaupun hanya tinggal batang pohonnya yang menjulang, angin tidak dapat membuatnya tumbang. Batang pohon akan mengelupas dan rontok sedikit demi sedikit dari ujung pohon (atas).



Jadi, tidak heran kalau masyarakat adat memuliakan pohon Bengaris. Semasa hidupnya pohon ini memberikan kehidupan bagi mahluk yang lainnya, dan ketika dia mati dia tidak menyusahkan lingkungannya dengan perilaku merontokkan bagian pohonnya.

Minggu, 06 Februari 2011

Pasar Induk Berau

Ikhwalnya aku tertarik ke pasar karena harus mencari kaos kaki yang lumayan tebal untuk mencegah kakiku lecet saat memakai boots. Setelah ku Tanya penjaga hotel aku tau kalau harus menggunakan angkot yang kea rah bandara. Aku cegat angkot dari taman kota (gasibu) kearah bandara. Banyak ibu-ibu yang mau kepasar rupanya, terlihat dari keranjang yang dibawanya. Banyak temen lah…
Ternyata ongkosnya lumayan mahal juga. Rp. 5000,- untuk jarak yang kufikir masih jauhan Bubulak- Br. Siang. Hello… ini Kalimantan bu…. Hehehehe….

Pasar induk ini dibagi menjadi 4 bagian pasar, yaitu : pasar kering (paling depan), plasa pasar kering dan foodcourt, pasar basah, dan plasa pasar subuh. Fasilitas pasar tak kalah lengkapnya, dari mulai mesjid, tempat penyimpanan ikan dan daging, halted an pangkalan ojek. Pasar tradisional ini mungkin jarang (atau bahkan tidak ada) ditemukan di Jawa.

Pasar basah lumayan ramai, karena hari masih terbilang pagi. Pasar ini terutama pasar basah dan plasa pasar subuh mulai buka jam 3 subuh, dan akan tutup jam 5 sore. Harga barangnya… ga usah ditanya pasti lebih mahal dari harga barang di Jawa. Hal ini jelas terlihat dari ongkos angkot nya yang jauh lebih mahal (Dasar orang kere….hehehehe..)

Ga jauh dari pintu aku masuk ada lapak yang menjual kaos kaki, aku iseng tanya harganya Rp. 15.000,- per 2 pasang. Tuh kan apa ku bilang, harganya pasti lebih mahal, di Bogor/Bandung aku bisa dapet kaos kaki emperan Rp. 10.000 per 3 pasang… Sudahlah kembali ke hukum yang ada, ini Kalimantan! Akhirnya aku beli 1 pasang saja dengan harga Rp. 8000,-. Suka ga enak kalau sudah menawar barang eh ga jadi beli. Aku berjalan ke depan dan menemukan suatu plasa atau taman yang lumayan bagus. Anak-anak kecil bermain bola di pelataran, mungkin mereka sambil menunggu ibunya berbelanja. Hal yang tak akan pernah ditemukan di pusat perbelanjaan di Jawa. Boro-boro untuk bermain bola, untuk parkir saja kadang ga tersedia.

Pemerintah kabupaten Berau memang mengfasilitasi warganya dengan membangun pasar tradisional yang megah ini. Aku sempat ngobrol dengan penjual kaos kaki di pasar kering, seorang bapak-bapak yang mengaku dari tahun 1996 berniaga di Berau. Menurutnya pasar ini baru beroperasi pada bulan puasa kemarin, jadi belum genap setengah tahun. Katanya pemerintah menerapkan sewa tempat bukan jual kios, jadi para pedagang hanya menyewa. Awalnya para penjual enggan pindah dari pasar lama yang terletak di Tanjung. Bagaimana tidak, letak pasar lama dan pasar yang sekarang lumayan jauh, butuh waktu setidaknya setengah jam. Pasar induk yang baru juga terletak jauh di luar kota. Lihat sekeliling pasar, perkampungan tidak terlalu ramai di sini. Namun, aku curuga, pertimbangan pemerintah menempatkan pasar induk di tempat ini adalah letaknya yang di tengah-tengah kabupaten.

Sebagai langkah awal pemerintah setempat memberlakukan masa percoban selama 6 bulan, free of charge… Tapi, lihat pasar ini,masih kosong. Ada dua lantai, lantai satu pun masih banyak kios yang kosong, apalagi di pasar kering di bagian depan. Bapak penjual kaos kaki ini sebenarnya punya jatah kios dilantai 2, tapi dia mengelar dagangannya di lantai dasar dekat escalator yang belum jalan, karena di lantai atas tidak ramai.

Memang.. pasar ini terlalu luas untuk ukuran pasar tradisional kabupaten, dengan fasilitas yang terlalu lengkap. Foodcort? Apakah akan berjalan dengan baik, dan akan seramai foodcourt-foodcourt yang dibangun dengan sempurna ini akan seramai yang ada di kota-kota. Bukan pesimis atau merendahkan, yang datang ke pasar tradisional adalah ibu-ibu rumah tangga dengan satu tujuan belanja kebutuhan rumah tangga, bukan ibu-ibu gaul atau ABG yang akan nongkrong-nongkrong seperti yang sering ditemui dikota-kota, dimana mereka datang bahkan hanya untuk makan siang atau mencoba-coba menu yang dihidangkan, dimana mereka menyebutnya wisata kuliner.
Siapa yang akan menggunakan fasilitas selengkap ini, karena masyarakat belum atau mungkin tidak memerlukannya.
Inilah bentuk otonomi daerah, satu sisi seperti kabupaten Berau bingung untuk mengalokasikan pendapatan daerah yang berlimpah, hingga pembangunan fasilitaspun dirasa berlebihan. Sisi lain daerah-daerah yang miskin, juga bingung untuk meningkatkan pendapatan daerahnya, ditambah ancaman korupsi yang merajalela tidak pandang daerahnya kaya atau miskin, daerah-daerah ini nasibnya tragis, alih-alih memberikan fasilitas, semua fasilitas yang ada akan kena tarif retribusi. Negeri ini negeri yang kaya, hanya dengan kebijakan yang benar-benar bijak, kemakmuran bagi masyarakatnya akan tercapai….

Jumat, 04 Februari 2011

SENJA DI BALIKPAPAN

27 Januari 2011 jam 13.15 pesawat Lion Air dengan no penerbangan JT 0758 tiba di bandara internasional Sepinggan. 15 menit di claim bagasi. Koperku datang pertama, agak jauh juga jaraknya dengan my coolbox. Semua barang aku disusun di troli. Keluar dari tempat pengambilan barang, sejenak aku bingung, gimana engga pesawatku selanjutnya (yang di pesankan oleh administrasi perusahaan ) adalah jam 6 sore. Dan sekarang baru jam 2 kurang. Sudut pandanganku menangkap Bakso Lapangan Tembak Senayan, so… gimana kalo isi perut dulu. Shubuh tadi hanya mie goreng yang masuk. Sebenarnya memaksakan untuk makan mie instan, sekedar menjalankan amanat sang bunda untuk tidak memulai aktivitas dalam perut kosong, ini juga untuk menghindari penyakitku juga yang ga pernah permisi kalau datang.

Bagiku ga ada pilihan, belum tentu aku bisa mendapat tempat makan lagi, lagian its time 4 lunch, isn’t it?!

Setidaknya aku bisa menghabiskan waktu 20 menit duduk di restoran fastfood tersebut. Aku memilih kursi yang dekat jendela, troli barang ga boleh masuk (tentunya) dia hanya terparkir manis di dekat jendela. Sambil makan aku telf sahabatku Selvy Lestari yang sekarang tinggal di Kota Samarinda benrsama suaminya. Dia kebetulan sedang istirahat dari mengajar. Aku hanya say hello dan bilang kalau aku di Balikpapan, seperti biasa obrolan kami dibumbui dengan gossip kabar dari teman-teman ‘Soil 36”.

Terbesit ide untuk melihat-lihat kota Balikpapan. Hari masih menunjukkan jam 14.00, lumayan kan, masih ada 3 jam lagi. Tapi…gimana dengan troli barang ini?! Aku telf orang tour yang akan membawakanku tiket, dengan begitu aku bisa cek in lebih awal, kalaupun belum dibuka aku bisa titipkan di maskapainya. Ternyata orang travel belum bisa ngasih aku tiket. Terlalu dini untuk cek in. sementara pesawat lain banyak yang delay. Jadilah aku gelandangan di bandara ini, dorong troli kesana kemari, tanya sana sini, ga ada yang membantu untuk menunjukkan tempat dimana aku bisa menitipkan barang (kecuali ruang executive lounge). So.. ga ada pilihan lain kecuali menunggu jam 4 sore. Menikmati pemandangan Sepinggan saat senja menjelang.

Waktu cek in pun tiba, lega rasanya. Setelah masukin bagasi bayar tiket masuk bandara (karena boarding pass sudah include dibayar dengan tiket). Hal pertama yang aku cari adalah kamar kecil, kemudian mushala, selanjutnya cari sumber listrik untuk ngisi batrei hape.

Alhamdulillah penerbangan ga delay, tepat waktu. Jam 17.30 WITA kami sudah dipanggil dan mengantri untuk masuk ke pesawat. Dan pesawat terbang tepat jam 18.00 WITA.

Pemandangan senja di atas Balikpapan ternyata sangat memukau… ini yang aku suka.... Air sungai yang berkelok memantulkan warna keemasan dari sinar surya yang hampir tenggelam. Subhanallah, kuasamu ya ALLAH. Terimakasih.

Senin, 24 Januari 2011

Selamatkan Sawahku

Namanya bapak Azwir , kami mengunjunginya pada pertengahan November 2010. Bapak ini adalah salah satu dari ketua kelompok tani di desa Meranti Baru, kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan keramaian. Untuk mencapai tempat ini kami menempuh perjalanan ± 3 jam dari Pangkalan Kerinci (kecepatan ngebut), ¾ perjalanan kami adalah jalan tanah berbatu dan berdebu. Jalan ini banyak memotong bukit-bukit kecil, sehingga profil tanah dapat terlihat jelas di kiri kanan. Kiri kanan jalan adalah kebun akasia (Acacia Mangium) dan sawit (Elaeis guineensis) yang silih berselang. Sesekali kami lihat ada pencetakan batako, usaha yang bagus mengingat tanah setempat terbentuk dari tras berupa tuffa masam, paduan menarik dimana rawa-rawa ditemukan di cekungan-cekungan yang dapat ditemukan pada antiklinnya.

Rumah Pak Azwir menghadap ke sungai Kuala Kampar, muara dari sungai Kampar. Rumah panggung yang sangat sederhana ini telah berdiri pupuhan tahun. Kami duduk di teras rumah dan merasakan sejuknya angin yang menghembuskan daun jambu air yang kala itu (sayangnya) baru berbunga.

Pak Azwir ternyata baru kembali dari sawah (ladang)nya, diseberang sungai. Beliau menggunakan sampan sederhana untuk mencapai sawahnya, di sana, di tengah pulau yang kami ga tau namanya.

Kedatangan kami disambut baik olehnya. Wajahnya sumringah menyambut kami. Jika sudah begini aku jadi ikut senang.
Pak Azwir adalah ketua kelompuk tani terbaik (menurut penyuluh tani setempat), beliau membawahi 15 orang anggota petaninya. Lokasi sawahnya ya ditengah pulau itu. Luas sawahnya mencapai 600 Ha yang dikelola oleh 20 kelompok tani. Kepemilikan sawah petani di pulau itu 1-2 Ha.

Alasan kenapa mereka berladang di tengah pulau adalah alasan teknis yang sederhana, namun komplek secara birokratis.

“Di pulau itulah kami akan aman dengan keberadaan sawah kami, kami pernah mengelola sawah (yang dicetak oleh kecamatan setempat sehubungan dengan program OPRM) di darat (begitu dia menyebut dataran Riau) namun, baru 2 kali kami kelola, sawah tersebut diambil alih oleh suatu PT sebagai bagian dari kawasan perkebunannya”

“Sungai ini mungkin tidak terlalu lebar untuk ditempuh oleh sampan kecil, tapi kadang kami tidak bisa nyebrang kalau sungai sedang pasang, terlebih lagi kami takut dengan adanya Bono”

Bono adalah alunan gelombang besar yang terjadi bersamaan dengan pasang naik dan pasang surut dengan ketinggian puncak gelombangnya mencapai 4-6 meter. Rentangan gelombang tersebut hampir selebar sungai Kampar. Gelombang ini terjadi akibat benturan tiga arus air yang berasal dari Selat Melaka, Laut Cina Selatan dan Aliran air Sungai Kampar yang berbenturan di muara Sungai Kampar dengan menimbulkan gelombang besar yang menggulung dan menghempas jauh kedalam sungai sehingga dapat menggulung dan menenggelamkan speed boat serta kapal besar maupun kecil.

Bono akan datang berselisih satu jam lebih lambat daripada hari sebelumnya. Sebagai contoh, bila hari ini datang pukul 11.00, besok datang pukul 12.00. Kedatangan gelombang yang termasuk fenomena alam ini ditandai suara gemuruh di kejauhan.

Namun, apakah Bono nantinya mampu melindungi sawah pa Azwir dari renggutan kapitalis perkebunan??

Kepemilikan tanah di tempat ini (termasuk di daerah lain) masih belum bersertifikat. Berdasarkan pengakuan pak Azwir, tanah yang sekarang dia tinggalipun tidak bersertifikat.

“kami hanya punya surat keterangan dari desa untuk tanah yang kami tinggali”

Jadi wajar kalau dia dan teman-temannya harus kehilangan sawah (yang dulu dihadiahkan oleh pemerintah) dengan mudah. Karena tidak ada kepemilikan yang jelas, bahkan untuk sebuah alokasi program pemerintah setempat pun, tidak ada jaminan hukumnya.

Pak Azwir memang menunggu kami untuk memperlihatkan sawahnya. Kami menyewa kapal motor kecil (karena sampan tidak muat) untuk menyebrangi sungai dan melihat sawahnya. Air sungai terlihat coklat, seperti air teh, beda dengan sungai di Jawa yang juga kadang coklat (selagi banjir), tapi coklatnya coklat kopi susu. Saat itu, air sedang surut dan arus pun tenang. Di pinggir sungai terdapat hamparan pasir halus berwarna kecoklatan. Cuaca terik waktu itu, sampai air kubangan di cekungan pasir terasa hangat (mendekati panas).

Setelah melewati hamparan pasir, masih ada semak belukar yang harus kami lewati untuk mencapai sawah. Ilalang dan rumput gajah sepertinya berebut cahaya matahari dengan meninggikan batangnya. Kami tenggelam di dalamya melewati jalan setapak yang sesekali harus lompat untuk menghindari kubangan air.

Kami rasa perjalanan sudah cukup jauh, tapi sawah belum terlihat.

“Masih 1 km lagi. Sawahnya di tengah pulau”

MasyaALLAH….. setelah mendayung menyebrangi sungai, para petani harus jalan kaki 2 km untuk mencapai sawahnya. Sungguh luar biasa!
O ya. Satu lagi. Pak Azwir mengeluhkan gangguan binatang yaitu babi. Keberadaan sawahnya tidak aman oleh gangguan binatang tersebut.

“Kadang sawah yang baru kami tanami, esoknya sudah rusak diacak-acak oleh babi”
Pak Azwir dan kawan-kawannya sudah berusaha mengatasinya dengan memagari sawah mereka dengan pagar sederhana, tapi tidak menyelesaikan masalah.

“Pagarnya pun dirusaknya”

Pantas saja sepanjang perjalanan kami bendengar krasak krusuk dari dalam semak. Bisa jadi si babi sedang mengintai kami di balik semak-semak. Setidaknya bukan ular yang mengitai kami.

Keinginan pa Azwir dan kawan-kawan Cuma satu saja. Mereka meminta bantuan pemerintah setempat untuk pembangunan saluran drainase. Saluran ini nantinya selain berfungsi untuk mengatur air juga sebagai “pagar” dari serangan babi. Babi kan ga bisa loncat!
Berdasarkan landsistemnya, sawah pak Azwir merupakan dataran-dataran pasir paduan sungai/muara, dengan bentukan lahan yang diklasifikasikan oleh Dessaunets (1980) sebagai DATARAN ALUVIAL. Bahan induk tanah pada lahan ini berupa bahan alluvium halus, yakni bahan sedimen dari sungai, bahan ini masih tergolong muda. Bahan induk lain adalah gambut yang dapat ditemukan dilapisan dibawah pasir. Menurut klasifikasi LREP (1990) Sub-group tanah yang pada landform seperti ini adalah Tropaquept, Fluvaquent, dan Tropohemist. Tanah-tanah seperti ini cocok untuk disawahkan.

Pa Azwir dkk telah memilih lokasi sawah yang tepat dengan menempatkan sawahnya di tengah pulau. Selain mengurangi gangguan dari pasang air sungai, kualitas tanah di tengah pulau tergolong lebih baik. Di bagian tengah pulau tanah telah berkembang dengan pembentukan lapisan-lapisan tanah (horizonisasi). Pada tanah seperti ini, lapisan tapak bajak akan lebih mudah terbentuk.

Sistem pertanian masih dilakukan dengan organik. Para petani tidak menambahkan pupuk anorganik ke dalam sawahnya. Alasannya sederhana, para petani percaya tanah mereka subur. Rata-rata petani mengelola sawahnya 1 kali setahun, satu musim mereka membiarkan tanahnya (bera). Pada masa bera inilah tanah me’recoveri’ kesuburannya. Bahan organik yang tinggi merupakan faktor lain mengapa tanah mereka tergolong subur.
Produktivitas sawah pa Azwir dkk tergolong tinggi (setidaknya menurut mereka). Petani dapat memanen 250 kaleng (setara dengan 3 ton) setiap musim dari 1 Ha sawahnya. Jumlah yang cukup tinggi, mengingat input yang diberikan (pupuk) minim sekali. Sebagian hasil panennya dijual kepada bandar yang sengaja datang. Padi yang dijual merupakan kelebihan dari konsumsi mereka.

Pak Azwir merupakan petani sejati. Keinginannya sederhana, dia inginkan kepastian atas hidupnya yang akan dia sandarkan pada sawahnya. Dia hanya inginkan haknya, sebatas sebagai pengganti haknya yang telah dirampas begitu saja.
Semoga hak Pak Azwir dapat segera didapatkan....

Lesson Learn Pengolahan Lahan Gambut di Indonesia

Lesson Learn Pengolahan Lahan Gambut di Indonesia

Indonesia memiliki cadangan tanah gambut terbesar ke-4 tingkat dunia ( 17 juta ha), setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Sebagian besar lahan gambut Indonesia tersebar di pantai timur Sumatera ( 9,7 juta ha), pulau Kalimantan (6,3 juta ha), dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya (1,3 juta ha) (Driessen dan Suprapto Hardjo, 1974).
Dalam observasinya Rismunandar (2001) menggambarkan kondisi umum lahan rawa gambut Indonesia, yang dapat di klasifikasikan menjadi :
(1). Hutan alami
(2). Kawasan dengan sisa tebangan hutan,seperti kawasan HPH
(3). Lahan gambut hasil drainase/pengeringan yang masih di manfaatkan ataupun yang sudah ditinggalkan.

Menurut Soil Survey Staf (1998), bahan gambut Indonesia berasal dari bahan organik yang terakumulasi secara anaerob (tergenang) secara terus menerus sehingga terbentuk lapisan-lapisan bahan organik. Lapisan bahan organik tersebut di kategorikan ke dalam tanah gambut bila ketebalan mencapai  40cm. Kadar air yang tinggi di ketebalan bahan organik adalah masalah utama dalam pengelolaan lahan gambut untuk pertanian.Kendala lain yang merupakan turunan dari ke-2 kendala tersebut seperti: kemasaman tanah yang tinggi, yang menyebabkan kekahatan unsur-unsur hara bagi tanaman.
Di beberapa tempat penduduk asli maupun pendatang seperti masyarakat Dayak, Banjar, Bugis, dan sebagian kecil etnis Cina, telah berhasil mengembangkan pertanian di lahan gambut.
Walau tidak banyak di ketahui, masyarakat Dayak telah mengembangkan kawasan rawa gambut. Mereka mengelola area di belakang tanggul sungai (back swamp) atau yang mereka sebut sebagai petak lawau. Pengelolaan lahan dikembangkan dengan pengaturan zona pemanfaatan lahan, dimana pembagian lahan disesuaikan dengan karakteristik lahan dengan indikator vegetasi alamiah tertentu. Kawasan hutan di bagian hulu (pedalaman) yang diperkirakan merupakan Hutan Rawa Gambut menjadi area keramat yang tidak boleh di kelola. Pola pengelolaan lahan ini kemudian tergeser dengan adanya ekstensifikasi pertanian oleh pemerintah.
Masyarakat Banjar yang merupakan masyarakat pendatang di pulau Kalimantan yang kemudian dikenal sebagai masyarakat pioneer yang berhasil mengelola lahan gambut menjadi lahan pertanian. Sistem pengolahan yang dikenal dengan Banjarese Sistem, yaitu budidaya padi dengan memanfaatkan air pasang surut sungai. Masyarakat memilih lahan gambut yang masih mendapat pengaruh air pasang sungai. Lahan pertanian mereka dilengkapi dengan pintu-pintu air (tabat) yang berfungsi mengatur tinggi muka air pada petakan. Pada awal musim hujan, saat air sungai mulai pasang, tabat dibuka sehingga air pasang dapat masuk ke setiap petakan. Air ini digunakan untuk mencuci asam-asam pada petakan sehingga pH tanah meningkat. Pencucian ini diharapkan dapat mengurangi kandungan unsur toksikpaeda lahan gambut. Setelah itu petakan dapat ditanami,dan pintu tabat di tutup. Dengan sistem ini, masyarakat Banjar dapat mempertahankan lahan pertaniannya lebih lama denga hasil yang memuaskan.
Di kawasan pantai timur Sumatera, lahan gambut juga dikembangkan oleh masyarakat pendatang, yaitu masyarakat Bugis. Pola pengelolaan lahan di kenal dengan polderisasi, pada hakekatnya pola ini serupa dengan Banjarese Sistem yakni pengaturan air melalui pintu-pintu air. Namun, pada polderisasi, pematang-pematang (polder) selain berfungsi sebagai penahan air pasang juga sebagai lahan budidaya terutama untuk tanaman tahunan seperti kelapa.
Keberhasilan Masyarakat tradisional dalam mengelola lahan gambut membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengembangkan pertanian lahan gambut lebih lanjut. Pihak pemerintah memandang potensi ini sebagai peluang dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan nasional, di pihak lain, swasta memandang potensi ini sebagai sumber keuntungan.
Pembukaan lahan gambut oleh pemerintah di kaitkan dengan program transmigrasi. Program ini sebenarnya telah di lakukan sejak masa penjajahan Belanda melalui program kolonisasi. Kawasan lahan gambut Kalimantan Selatan menjadi salah satu tempat tujuan kolonisasi tersebut, untuk menunjang kebutuhan pengairan pada lahan pertanian. Pemerintah Belanda memperbaiki anjir-anjir (saluran drainase) yang sebelumnya di bangun masyarakat tradisional. Kegiatan pertanian di konsentrasikan di sekitar saluran/anjir-anjir tersebut. Petani yang ditempatkan di kawasan ini telah berhasil mengembangkan pertanian melalui teknik pengelolaan tradisional dan pemillihan komoditas tanaman yang tepat.
Tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan pertanian lahan gambut melalui P4S (Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut) di kawasan pasang surut Sumatera dan Kalimantan. Proyek ini melibatkan 3 institusi besar dalam rancangan pengembangannya. Namun, rancangan institusi tersebut ternyata tidak berhasil mengubah lahan pasang surut menjadi areal pertanian yang potensial. Dapat disimpulkan, rancangan yang langsung di uji pada lahan pasang surut (rancangan IPB di pantai timur Sumatera, dan rancangan UGM di Kalimantan Selatan) berakibat sama, yaitu meningkatnya kemasaman (pH) air pada lahan pertanian. Hal ini disebabkan faktor-faktor penghambat seperti: buruknya drainase, bahaya instrusi garam, dan bahaya pirit, hal tersebut tidak bisa diatasi oleh sistem racangan dari institusi-institusi tersebut.
Sementara itu, di kawasan pantai timur Sumatera, seperti provinsi Riau, konservasi lahan gambut mulai dilakukan oleh kalangan swasta. Tahun 1967 PT Sambu Grup mengembangkan lahan rawa Pasut di Pulau Sambu, Riau untuk perkebunan. Potensi lahan seperti : topografi yang relatif datar, ketersediaan air tinggi, dan lokasi yang strategis yakni dekat dengan jalur perdagangan internasional menjadi modal utama dalam pengelolaan lahan menjadi pertanian. Selanjutnya dilakukan pemilihan komoditas tanaman yang akan dibudidayakan. Hal ini penting mengingat kondisi marginal lahan gambut sehingga hanya tanaman yang toleran terhadap kondisi fisik dan alamia tanah gambut yang dapat dibudidayakan dengan baik. Kelapa dan nenas di pilih sebagai komoditas utama di areal perkebunannya. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek yaitu : tingkat adaptasi kedua tanaman yang tinggi terhadap kemasaman tanah, kemudahan dalam pemeliharaan tanaman, dan prospek pemasarannya.
Dalam persiapan lahan, kanal-kanal di bangun dengan tujuan sebagai sarana pengairan dan drainase. Managemen air yang dilakukan, pada prinsipnya sama dengan Banjarese Sistem, yakni pemanfaatan air pasang surut. Selain itu, upaya perbaikan kesuburan tanah seperti pengapuran dan pemupukan dilakukan dengan berimbang, sehingga produktivitas tanaman menjadi lebih baik.
Keberhasilan pengembangan lahan gambut di berbagai tempat merupakan suatu peluang bagi upaya ekstensifikasi lahan pertanian untuk menunjang swasembada pangan. Untuk itu, presiden RI-Soeharto-mengeluarkan keputusan presiden No. 82 tahun 1995 tentang pengembangan lahan gambut untuk lahan pertanian. Pada proyek ini, pemerintah mengkonversi 638.000 Ha hutan tropis Kalimantan Tengah menjadi areal persawahan dan 362.000 Ha menjadi ladang dan perkebunan(Rismunandar, 2001). Oleh sebab itu, proyek ini dikenal dengan “Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha” untuk menjamin distribusi air pada seluruh lahan konstruksi pertanian.
Saluran drainase dibuat dalam ukuran besar. Tim Teknis Pengelolaan Gambut Kalimantan Tengah (1997) menggambarkan bahwa terdapat 3 saluran utama yang di bangun, yaitu Saluran Primer Induk, Saluran Primer Utama, dan Saluran Drainase Sekunder.
Saluran Primer Induk dibangun untuk menghubungkan 3 sungai besar yaitu : Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, dan Sungai Barito. Melalui saluran primer induk ini air dari sungai-sungai tersebut akan dialirkan ke Saluran Primer Utama untuk kemudian sapai pada petakan lahan melalui saluran-saluran sekunder dan tersier. Sementara drainase lahan dilakukan terpisah melalui Saluran Drainase Sekunder.
Konstruksi saluran tersebut dibuat dalam ukuran yang besar. Saluran Primer Induk dibangun dengan lebar 25 m (permukaan) dan 15 m (pada bagian dasar), kedalam 6 m, dan total panjang 133,2 km. Sementara Saluran Primer Utama yang berjumlah 7 buah dibangun dengan lebar yang sama dan kedalaman 5 m, total panjang Saluran Primer Utama mencapai 568,8 km.
Pada pelaksanaannya, saluran drainase mendrainase air pada lahan gambut dengan berlebih, sehingga menyebabkan penurunan muka tanah (subsidence) dan kekeringan pada muka tanah yang terjadi sangat cepat (overdrain). Menurut Andriesse (1997) subsidence yang terjadi secara berkelanjutan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah sampai pada batas di bawah permukaan air sungai. Dengan demikian, drainase tidak dapat dilakukan kembali, sehingga air asam tidak dapat dibuang dari lahan.
Pusat Kajian Lahan Basah (1998) mencatat bahwa didaerah berpotensi sulfat masam, drainase akan mengakibatkan penurunan pH tanah yang drastis, sehingga lingkungan tanah menjadi sangat masam. Selain itu, dalam Paper Mulyanto (2000), pembangunan saluran-saluran diatas tidak dilakukan dengan hati-hati, dengan ditandai pembuatan saluran yang melewati areal puncak kubah gambut (peat dome), menurutnya areal ini seharusnya di konservasi sebagai daerah resapan air (reservoir air) yang dapat mengsuplai airigasi. Namun, konstruksi sudah dibangun, dan kerusakan tidak dapat dielakkan lagi. Lahan-lahan pertanian yang telah dibuka hanya sebagian kecil saja yang dapat berproduksi dengan baik. Pada musim tanam selanjutnya ancaman kekeringan dan bahaya air asam tidak dapt dielakkan dan pada akhirnya lahan ditinggalkan oleh petani karena tidak dapat dikelola lagi. Mega proyek ini berakhir dengan kata kegagalan, dan tahun 1998 pemerintah secara resmi menutup mega proyek Pembukaan Lahan Gambut Sejuta Ha tersebut, dengan beban kerugian yang sangat besar.
Mengacu pada kegagalan Pembukaan Lahan Sejuta Ha tersebut, maka melalui keputusan presiden No. 80/1999, seluruh bekas areal Pembukaan Lahan Gambut dihentikan pembangunannya, kecuali beberapa daerah kerja yang dinilai barhasil. Sebagai upaya reklamasi lahan gambut selanjutnya, pemerintah memperluas izin usaha pengelolaan lahan dan hutan melalui Izin Pengelolaan Hutan dan HTI (Hutan Tanaman Industri)
Namun, pada pelaksanaannya kegiatan perkebunan belum atau bahkan tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Para pengusaha pemegang IPH cenderung tidak memperhatikan keseimbangan antara kayu yang ditebang dengan yang ditanam sehingga kondisi hutan tidak segera pulih. Selain itu, banyak areal yang seharusnya dilindungi sebai resapan air seperti areal kubah gambut, tidak luput dari penebangan. Upaya rehabilitasi lahan cenderung dilakukan setelah seluruh lahan terbuka. Padahal pengelolaan pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan lahan telah diatur dengan tegas oleh undang-undang. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada upaya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku kerusakan hutan.
Disamping itu, praktek ilegal logging yang semakin meluas menambah buruknya kondisi hutan dan lahan gambut hutan yang tinggi. Banyak pihak yang berpendapat bahwa buruknya kondisi lahan dan hutan ini sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kawasan Sumatera dan Kalimantan, yang akhir-akhir ini menjadi issue tahunan yang menyebabkan polusi lingkungan yang tidak saja melanda negara Indonesia tapi juga negara-negara tetangga.
Untuk mempermudah usahanya, para penebang membangun saluran-saluran drainase sampai jauh ke arah pedalaman. Saluran-saluran ini akan membuang kelebihan air pada lahan, sehingga ketinggian air dapat dikurangi. Ketika musim kemarau tiba, kondisi lahan akan jauh lebih kering. Pada lahan terbuka evaporasi akan lebih cepat, dengan demikian kadar air terus berkurang. Sementara itu, pada permukaan tanah, bahan organik menjadi kering dan sangat mudah terbakar, bahkan hanya dengan sengatan matahari.
Kebakaran yang terjadi di lahan gambut umumnya sulit di padamkan. Pada mulanya api akan membakar serasah kering, semak-semak, dan pepohonan, api kemudianakan menyebar secara perlahan ke bagian bawah permukaan tanah, ini yang disebut ground fire. Dalam perkembangannya, api akan menjalar secara vertikal dan horizontal, walaupun di permukaan serasah sudah habis terbakar, namun api masih menjalar kebagian bawah permukaan, mengingat kondisi di bawah permukaan yang tidak kering, maka hanya asap saja yang tampak pada permukaan. Dengan demikian kebakaran sulit di atasi.
Hal ini membawa negara-negara ASEAN untuk membuat kesepakatan tentang pencemaran Asap Lintas Batas atau dikenal sebagai Asean Trans Boundari Haze Pollution (AATHP). Dalam kesepakatan ini dibentuk suatu badan koordinasi yang bertugas dalam upaya pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Upayanya seperti apa, tidak ada langkah yang kongkrit.

Rekomendasi
Jika merunut pada pola-pola pengolahan lahan gambut yang telah di lakukan oleh berbagai pihak, dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pengelolaan terletak pada management air dan pemilihan lahan budidaya yang menyangkut konservasi terhadap areal-areal tertentu.
Seperti halnya Masyarakat Dayak yang menetapkan areal Hutan Rawa Gambut sebagai zona keramat yang tidak boleh di kelola. Hal ini bukan semata-mata karena masyarakat tradisional tidak memiliki kemampuan mengelola areal hutan, namun mereka menyadari bahwa keberadaan hutan telah menjamin keberlangsungan usaha pertanian yang mereka jalankan. Dengan berpegang pada konsep konservasi tersebut, masyarakat Banjar mengembangkan teknik pertanian dengan management air melalui pintu-pintu air mereka. Kelangsungan pertanian - dalam hal ini sawah – tergantung pada jumlah dan kualitas air dalam perpetakan. Hal ini menjelaskan bahwa kesuburan lahan gambut terletak pada kualitas airnya. Jadi, drainase harus dilakukan pada kadar dan waktu yang tepat.
Management air yang telah terbukti berhasil dalam usaha pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan yang dikelola oleh pihak swasta. Upaya ini ditunjang dengan pemilihan komoditas, dan usaha perbaikan kesuburan tanah. Keberhasilan perkebunan swasta ini layaknya menjadi perhatian pemerintah, sebuah kerjasama hendaknya dilakukan. Kerjasama ini di harapkan dapat membangun usaha-usaha baru yang dapat mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Dengan catatan, pengawasan terhadap AMDAL harus senantiasa di lakukan, dan harus di pilih pihak yang kompeten dalam masalah pengelolaan gambut.
Dan, sebagai upaya reklamasi kerusakan lahan yang telah diketahui penyebabnya adalah over drainase, maka sebagai langkah awal adalah menutup kembali salah satu drainase tersebut. Dengan demikian, air hujan yang tertampung pada lahan akan tetap menggenangi lahan sampai saat musim kemarau. Langkah selanjutnya adalah upaya rehabilitasi lahan. Gambut mempunyai sifat kering tidak baik (irreversible drying), mengembalikan gambut pada kondisi alamiahnya merupakan usaha yang akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Walau demikian, jika kita tidak melakukannya untuk hari ini, mungkin ini akan bermanfaat untuk hari yang akan datang.
Semoga!