Jumat, 09 Maret 2012

BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) DI INDONESIA

Padi awalnya dibudidayakan di daerah pelembahan Asia daratan (Thailand, Burma, Laos, India, dan lain-lain). Budidaya padi ini kemudian menyebar ke berbagai daerah lainnya, baik tropika maupun subtropika, termasuk Indonesia. Padi tidak hanya ditanam sebagai padi sawah, namun ada juga sebagai padi gogo atau padi ladang. Pola pertanaman kedua jenis padi ini jelas berbeda, demikian juga tingkat kesesuaian lahannya. Namun, varietas-varietas tertentu dapat ditanam pada kedua sistem tersebut.
Menurut Ahn (1993) dalam Situmorang dan Sudadi (2001), terdapat 5 (lima) pola pertanaman padi yang utama didaerah tropik, yaitu : irigasi, tadah hujan, sebar langsung pada sawah irigasi, padi apung, dan pemanfaatan air hujan di daerah dataran tinggi/daerah berbukit.
       Umumnya padi ditanam pada lahan yang disebut sawah. Sawah adalah tanah yang dibatasi dengan pematang yang digunakan sebagai area penanaman padi yang diairi dengan pengairan teknis atau tadah hujan. Pada musism-musim tertentu, sawah tidak hanya digunakan untuk bertanam padi, tapi juga digunakan untuk bertanam palawija. Istilah sawah bukan merupakan taksonomi, akan tetapi merupakan istilah yang menggambarkan jenis penggunaan tanah, hal ini dapat disejajarkan dengan istilah Forest soil dan grasslandsoil. 
        Di Indonesia, sawah diusahakan pada jenis-jenis tanah : Entisol, Inceptisol, Vertisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol, yang menyebar luas di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (terutama Sulawesi Selatan). Sifat-sifat tanah tersebut apabila disawahkan sangat dipengaruhi oleh suber bahan asalnya. Menurut Supraptohardjo dan Suharjo (1970) dalam Situmorang dan Sudadi (2001), jenis tanah yang banyak digunanakan untuk persawahan adalah Aluvial dan Gleisol. Hal ini disebabkan faktor air dan fisiografinya yang paling memungkinkan. Jenis tanah lainnya umumnya terdapat pada fisiografi berombak sampai berbukit, sehingga kurang memungkinkan untuk disawahkan. Namun, akhir-akhir ini telah banyak lahan yang dibuka untuk persawahan pada daerah-daerah berlereng dengan pembuatan teras-teras, walaupun luasannya relatif sempit.
            Umumnya tanah sawah di Indonesia berasal dari lahan kering dan lahan rawa-rawa. Tanah sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit, kadang-kadang sampai bergunung. Pembuatan teras dilakukan pada tanah-tanah seperti ini, kemudian lahan diairi dengan air irigasi atau air hujan. Sawah seperti ini banyak terdapat di Jawa, Bali, Lombok, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan tanah sawah yang berasl dari lahan rawa-rawa dapat berupa sawah lebak dan sawah pasang surut. Sawah seperti ini banyak dijumpai di Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan.
            Persyaratan utama dalam penggunaan suatu lahan untuk dijadikan sawah adalah ketersediaan air. Persyaratan tersebut kemudian dikembangkan untuk kepentingan pendugaan produksi, perencanaan dan pengadaan sarana produksi, sehingga faktor-faktor persyaratan tersebut diperinci. Menurut Dent (1978), usaha penetapan kualitas lahan untuk penggunaan tertentu ditentukan oleh faktor-faktor berikut :
  1. Topografi : kemiringan lahan, dalam profil efektif, tebal lapisan olah
  2. Fisik tanah : tekstur tanah, mineral liat, permeabilitas, perkolasi, daya olah tanah
  3. Karakteristik air tanah : kandungan air tanah, muka air tanah, drainase, genangan air/banjir
  4. Kimia tanah : kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, pH, bahan organik, hara tersedia, potensi redoks.
  5. Faktor pembatas : lapisan sulfur, lapisan laterit, kemasaman, salinitas, alkalinitas, konduktivitas. 

Di Indonesia permasalahan yang sering terjadi pada tanah yang disawahkan antara lain :  iklim (musim kemarau), topografi (hubungannya dengan tingkat bahaya erosi), dan sifat tanah (kandungan hara yang tidak seimbang).
Pada daerah-daerah dengan curah hujan rendah atau tidak memiliki saluran irigasi, pola penanaman padi umumnya disesuaikan dengan ketersediaan air, yaitu air hujan. Pola budidaya padi yang diterapkan adalah tadah hujan. Pola ini banyak diterapkan di daerah Indonesia bagian timur, dan daerah lain yang tidak terdapat jaringan irigasi.
Pada pola tadah hujan, pengolahan tanah dilakukan pada akhir musim kemarau, hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhan padi, terutama pada awal pertumbuhan. Pengolahan tanah dilakukan dengan pembuatan galangan-galangan untuk dapat menahan kehilangan air melalui aliran permukaan (run off). Selain itu, petani juga membuat tempat penampungan air hujan (embung) sebagai cadangan air irigasi. Penanaman padi umumnya dilakukan dengan cara tugal yang dilakukan setelah hujan turun beberapa kali sehingga pada saat padi muali tumbuh petakan sudah tergenang air.
Pola budidaya lain yang dapat ditemukan di Indonesia adalah padi lebak (rawa non pasang surut). Genangan air pada lebak sangat tergantung pada musim. Pada tipe lahan tertentu, genagan hanya terjadi pada musim hujan saja. Faktor pembatas utama untuk budidaya padi pada lahan ini adalah genangan air (bahaya banjir). Untuk mengatasi bahaya banjir, petani membangun tanggul-tanggul pencegah banjir. Tanggul-tanggul ini dubuat sepanjang sungai. Saluran irigasi dibuat di belakang tanggul-tanggul penahan banjir. Saluran irigasi tersebut dibuat untuk menampung aliran permukaan dari lahan, pada saatnya air ini akan digunakan kembali sebagai sumber irigasi pada petakan sawah. Pada pola budidaya padi di lahan lebak, penanaman padi dilakukan pada akhir musim hujan, yaitu pada saat air genangan mulai turun. Lebak biasanya tidak akan ditanami bila genangannya masih tinggi. 
Keragaman kondisi fisik lahan dan sosial masyarakat sangat mempengaruhi pola budidaya padi dan aplikasi teknologi yang diterapkan. Sehingga tipe penggunaan lahan untuk padi di Indonesia sangat beragam.


Kamis, 09 Februari 2012

Permata untuk Ibu

Sampai juga aku pada hari ini. Ini adalah titik perjuanganku dikota Bogor, tempatku menemukan jati diri dan tempat menolak ukur diriku. Kini aku telah lalui semua yang ingin aku capai. Kewajiban dari perjanjian untuk menyelesaikan masa pengajaran telah aku selesaikan, walaupun memakan waktu yang lebih dari semestinya, tapi aku puas, karena banyak yang aku dapatkan disini. Satu sisi, tanggung jawabku telah terpenuhi. Entah kenapa aku telah merasa cukup dengan semua ini. Terkadang aku ingin waktu ini dipercepat untuk segera berada disampingNYA. Tak ada hal lain yang lebih mendamaikanku selain di sisiNYA, sepertinya…

Ibuku… kini telah punya permata yang bersinar. Permata yang telah kami asah bersama hingga sinar terangnya bisa terlihat. Ibuku… betapa ingin aku selalu disampingnya.. tapi apakah aku masih bisa? Aku tidak bisa menjadikan diriku layaknya permata… aku tak dapat memberikan sinar terang yang selama ini engkau idamkan. Ibuku… betapa ingin aku melihatmu selalu tersenyum… tersenyum melihat kebahagiannku.. tapi aku tak bisa memberikannya. Ibuku… andai kau tahu anakmu yang angkuh ini adalah orang yang kerdil.. hanya batu sungai yang tidak dapat diasah menjadi permata. Apa yang bisa diberikan dari sebutir batu sungai, itu yang akan ku berikan untuk mu ibu, walau itu tak senilai dengan sebutir permata.
Ibuku… maafkan aku…

Jumat, 02 September 2011

Tekonologi Hijau

Saat ini seolah kita dilenakan oleh berbagai kemudahan dari produk teknologi. Teknologi telah memberikan berbagai kemudahan kapada masyarakat terhadap sumber daya. Dalam bukunya yang berjudul “The World is Flat” Thomas L. Friedman mengatakan bahwa, dunia dewasa ini telah berubah menjadi sebuah “dunia yang datar”, dimana teknologi memegang peranan penting dalam memfasilitasi manusia dalam melakukan berbagai aktivitas tanpa batasan. Dengan teknologi manusia akan dengan mudah bertransaksi dan berkolaborasi dimana semua aktivitasnya berujung kepada peningkatan perekonomian dunia.


Tanpa disadari, berbagai kemudahan ini adalah produk dari jenis teknologi yang dikategorikan “red teknologi” yang merupakan teknologi yang masih membutuhkan sumber daya energi dalam mengoperasikannya. Hal ini mengacu pada bahan energi yang digunakan saat ini masih bersumber dari minyak, batubara dan bahan tambang lainnya. Penemuan-penemuan terbaru mengenai teknologi selalu mengacu kepada penemuan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya yang dinilai ekonomis tersebut (baca : bahan tambang). Minyak bumi, batubara, hinggga budidaya tanaman monokultur terus-menerus dieksploitasi guna memenuhi permintaan pasokan terhadap energi yang terus mengalami peningkatan akibat “mendatarnya dunia”. Sistem budidaya tanaman monokultur disebut-sebut sebagai sebuah eksploitasi sumber daya lahan, hal ini mengingat fungsi lahan sebagai suatu penyokong sustainabilitas keseimbangan ekologis harus dikorbankan.

Dalam bukunya Friedman menggunakan istilah “affluenza” yakni istilah untuk situasi dunia saat ini yang tengah mengalami peningkatan daya konsumtif dan ketergantungan terhadap produk teknologi, dalam hal ini “red technology”. Kita semestinya harus berusaha untuk tidak tergantung kepada pilihan sumber daya yang tak terbaharui dan mulai melirik inovasi-inovasi baru terkait penyediaan sumber energi. Jangan sampai kondisi zaman orde baru terulang lagi dimana kita terlalu tergantung kepada pendapatan dari hasil miyak bumi dan bahan tambang lainnya. Eksploitasi yang dilakukan secar terus-menerus dilakukan demi menyokong kebutuhan finansial pembangunan Negara. Kita harus berubah.

Teknologi saat ini belum mengacu kepada konsep “green technology” yang merupakan suatu inovasi kemajuan teknologi yang ramah lingkungan. Green technology is that in which the technology is environmentally friendly and is created and used in a way that conserves natural resources and the environment. Jika diartikan pengertian green technology atau teknologi hijau adalah suatu teknologi yang ramah lingkungan dimana diciptakan dan digunakan untuk tujuan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Teknologi hijau atau dapat disebut juga sebagai teknologi ramah lingkungan merupakan teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Teknologi hijau juga termasuk aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar.

Terdapat 6 (enam) sumber energi yang dapat dimanfaatkan dalam teknologi hijau, yaitu:
  1. Angin, merupakan energi gerak yang secara konvensional sudah digunakan sejak dulu
  2. Biofuel, teknologi ini dinilai mempunyai proses yang panjang dan bertingkat dalam menghasilkan energi. Alga yang dinilai secara genetik dapat menghasilkan bahan bakar minyak, namun secara ekonomi belum memperlihatkan potensi komersialnya. Berbagai penelitian masih mengarah kepada optimalisasi penggunaan alga sebagai sumber energi hijau.
  3. Tenaga ombak, mempunyai potensi sebagaimana tenaga air yang telah dikembangkan dalam PLTA. Namun, penggunaan omabak belum meluas walaupun analisis secara financial menunjukkan potensi yang besar
  4. Tenaga nuklir, yakni energi yang berasal dari reaksi atom. Teknologi ini sudah digunakan oleh beberapa Negara maju. Namun, isu bahaya nya sepertinya lebih kuat daripada kegunaannya.
  5. Energi panas bumi, penggunaan geoterma yang konvensional hanya berupaya mengeluarkan panas yang berada di permukaan bumi. Jika dilakukan pengkajian lebih lanjut, energi panas bumi dapat menjadi sumber energi yang ekonomis.
  6. Penggunaaan energi surya, matahari adalah sumber energi terbesar dan utama bagi kehidupan kita, kita dapat memanen energi matahari secara cuma-cuma dan dengan teknologi yang sederhana. Indonesia sebagai negara yang terletak tepat dibawah garis katulistiwa mempunyai periode untuk memanen matahari lebih besar baik secara kuantitas maupun kualitasnya dibanding dengan kawasan yang tidak dilintasi oleh garis katulistiwa, oleh karena itu penggunaan energi matahari dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang paling “dekat” untuk bisa kita manfaatkan sebagai sumber energi.



Sebuah laporan disusun Roland Berger Strategy Consultants, sebuah perusahaan global yang berbasis di Jerman. Timnya mengumpulkan data 38 negara dari berbagai asosiasi energi, laporan bank dan broker, presentasi investor, Badan Energi Internasional, dan sumber lain. Pendapatan diukur dari produksi energi terbarukan seperti biofuel, turbin angin dan peralatan termal, dan teknologi efisiensi energi seperti pencahayaan rendah energi dan insulasi.

Posisi pertama yang memproduksi teknologi hijau adalah Denmark. Negara itu keluar sebagai jawara dengan memproduksi kincir angin dan berbagai teknologi ramah lingkungan lain. Namun, itu semua tidak berhasil mengalihkan pusat perhatian yang kini tengah menyoroti Cina. Menurut laporan yang dirilis World Wildlife Fund for Nature, pertumbuhan "teknologi hijau" di Negara Cina telah tumbuh dengan luar biasa, sekitar 77 persen setahun. "Cina telah membuat, pada tingkat politik, keputusan penting dan sadar untuk menangkap pasar teknologi hijau ini dan untuk mengembangkan pasar ini dengan sangat agresif," kata Donald Pols, ekonom yang menyertai WWF, seperti dilansir Associated Press, Ahad (8/5).

Bagi sebagian besar masyarakat Cina, perubahan iklim bukan suatu isu ideologis. Bagi mereka perubahan iklim adalah fakta kehidupan. Perdebatan menganai perubahan iklim dan transisi menuju karbon rendah sudah dilewatkan di Cina. Cina berhasil mengalahkan Amerika Serikat dalam persaingan produksi teknologi ramah lingkungan ini. Amerika Serikat harus puas menempati urutan ke-17 dari 38 negara yang dianalisis.

Dalam hal pemakaian ‘red teknologi’ (bahan bakar minyak-red), Negara Amerika Serikat masih bergantung 85% kebutuhan energy dari bahan bakar miyak. Hal ini berkebalikan dengan Swedia dimana pemakaian bahan bakar minyak di Negara ini telah dikurangi menjadi 15%. Sejak tahun 2000 sebagian besar kendaraan di Swedia telah menggunakan ethanol yang diperoleh dari tebu dan selulosa lainnya. Yang menarik, adalah semua perubahan tersebut dilakukan oleh public dan pihak swasta. Tidak ada campur tangan pihak pemerintah dalam pengambilan kebijakan pemakaian teknologi hijau tersebut. Hal tersebut semata-mata sebuah pengambangan inovasi baru dalam teknologi yang diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat.

Sebuah perubahan terhadap pola fikir penggunaan teknologi harus segera dilakukan. Hal ini dapat diatasi dengan adanya kesadaran dari semua pihak untuk mencari dan menggunakan teknologi hijau yang tiada lain untuk aksi penyelamatan lingkungan secara global. Namun, hal ini sepertinya memerlukan suatu perubahan terhadap paradigma yang sangat besar, seperti yang pernah diutarakan oleh Johns Hopkins, seorang pakar kebijaksanaan luar negri dari University Michael Madelbaum, bahwa “orang tidak akan berubah ketika kita mengatakan bahwa mereka harus berubah. Mereka akan berubah ketika mereka sadar bahwa mereka harus berubah”. Untuk itu, kita tidak bisa hanya mengatakan bahwa Negara kita harus segera mengubah konsep teknologi, kesadaran untuk mengubah konsep teknologi sendirilah yang harus kita dihidupkan.

(dikutip dari berbagai sumber)

Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran...


Jumat, 19 Agustus 2011

Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri China

Orang Barat itu hebat dalam hal penelitian dan penemuan. Mereka meneliti sampai bisa menemukan listrik, kereta api, silinder, dsb. Adapun masalah berdagang dan mencari rezeki, jagonya adalah China. Bangsa China ini pekerja keras dan pekerja cerdas. Ini terlihat dari kenyataan kalau ayahnya jualan kacang buntelan, maka pada saat anaknya nanti, usahanya sudah menjadi pabrik kacang. Untuk itu, pantaslah Cina menyandang predikat sebagai enterpreneurship nomer satu di dunia. Sedangkan kalau makan tapi tidak kerja, jagonya adalah orang Indonesia. Jadi, orang Indonesia itu maunya, kalau kerja tidak berkeringat, tapi kalau makan, harus berkeringat. Berarti di sini kita mengalami hambatan budaya untuk maju.

Seandainya ibadah, tauhid, dan akhlaq kita digandengkan dengan etos kerjanya orang China, maka saya kira, itulah yang dimaksud oleh Hadits Rasulullah SAW:

“Bekerjalah untuk duniammu, seakan-akan engkau hidup selamanya; dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari”

Orang China di sana jarang omong. Mereka ngomong seperlunya, karena pekerjaan lebih mereka dahulukan. Berbeda dengan disini, berbincang sudah menjadi tradisi yang sulit dihindari. Belum apa-apa kita sudah sarapan pagi dengan gossip sambil minum dan makan cemilan, hal ini bisa berlangsung berjam-jam. Bahkan ada budaya salah satu suku dimana kaum laki-laki seolah-olah diharuskan duduk berlama-lama di warung kopi, sekedar menambah pergaulan. Ini disebut dengan wasting time (menyia-nyiakan waktu), padahal di dalam Hadits disebutkan bahwa orang yang menyia-nyiakan waktu atau hidupnya, berarti dia sedang disia-siakan oleh Allah SWT.

Dalam hal etos kerja, Islam mengajarkannya melalui Hadist Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW ditanya: "Rezeki apa yang paling baik?", beliau menjawab; "Rezeki terbaik adalah rezeki hasil tangannya sendiri". Kadang-kadang, karena orang tua masih cukup, maka seseorang nebeng kepada orang tua, sementara dia sendiri tidak ada mempunyai kreativitas; sehingga begitu ditinggal oleh orang tuanya, dia akan kelabakan.

Kembali ke China, dimana perusahaan-perusahaan besar milik orang China di Indonesia, rata-rata Grand Manager-nya berusia di bawah 40 tahun. Misalnya: Gudang Garam, Djarum, dsb. Perusahaan-perusahaan itu sudah tidak dipegang oleh ayahnya, karena ayahnya sudah menjadi konsultan, sedangkan yang menjadi eksekutif commite-nya adalah anak-anaknya.

Sebenarnya, perintah melihat bangsa China adalah bagian dari Hadits yang menyatakan bahwa hikmah itu adalah milik orang mukmin. Kalau hikmah itu kececer pada orang lain, maka hikmah itu adalah milikmu. Jangan karena tidak Islam, lalu kamu memusuhi mereka. Karena mutiara itu kececer dan dipegang oleh orang lain, maka ambil kembali hikah itu. Contoh: Penelitian itu kan perintah Islam, lalu kenapa kita tidak memakai hasil penelitian orang Eropa?. Dulu, sebelum orang Eropa maju, yang bisa meneliti dalam bidang kedokteran, matematika, gizi, dsb. diteliti oleh ulama'-ulama' Islam. Oleh karena itu, ambillah hikmah dari mana saja, asal hikmah itu benar menurut syariat Islam.

Jadi, tidak bagus kalau ada orang yang membeda-bedakan antara daerah Islam dengan daerah yang tidak Islam. Karena di daerah Islam itu ada tauhid, namun ada kelemahan; sedangkan di daerah yang tidak Islam, ada kekufuran, namun ada kelebihannya. Hanya saja, sampai hari ini, orang-orang Timur Tengah, masih juga membagi peta antara Negara Islam dengan Negara tidak Islam, padahal mutiara-mutiara Islam sebagai agama, telah tercecer di sana-sana, karena tidak dipegang oleh orang muslim di negara Islam itu sendiri.

Diantara Negara-negara maju, China memang special. Bagaimana tidak?! mereka punya sesuatu, tapi tidak mau pakai; mempunyai etos kerja tinggi, tetapi hidup sederhana; barang yang terbaik untuk dijual, sedangkan yang asal jadi, dipakai sendiri. Mereka juga jarang yang mau pakai sepeda motor, karena mengakibatkan polusi dan tidak sehat. Maka dari itu, umur mereka panjang-panjang. bahkan mencapai usia lebih dari 100 tahun.

China mungkin merupakan satu-satunya Negara komunis yang maju. Rusia yang merupakan dedengkot komunis dunia, dimana mereka telah bertahan dengan fahamnya selama 70 tahun, namun kemudian ambruk. Reformasi tidak membantu kehancuran perekonomian Rusia. Berbeda dengan China, dimana setelah direformasi, Negara ini malah melejit, padahal kedua Negara ini berangkat dari faham yang sama-sama komunis. Kemajuan ini tidak lain disebabkan oleh aplikasi budaya China pada system perekonomian dan kehidupan sehari-hari. Orang China selalu menerapkan bahwa biaya makan harus kurang dari penghasilan; sementara orang Rusia, biaya makan melebihi kapasitas hasil kerjanya (besar pasak daripada tiang). Disini terlihat bahwa etos kerja di kedua Negara jauh berbeda walaupun faham mereka sama. Saat ini, orang China berbondong-bondong pergi ke Moskow untuk menggarap lahan pertanian-pertanian yang banyak ditinggalkan karena kekurangan sumberdaya. Sehingga sekarang ini Rusia tampaknya berada di bawah kendali RRC.

China juga menjadi ancaman Amerika berkaitan dengan laju industrinya yang pesat. Para pengusaha Amerika sangat khawatir dengan ekspansi perdagangan China, dimana hamper pangsa pasar diwarnai produk China. Kekhawatiran ini membawa seorang pengusaha asal Negara adidaya itu meminta dengan hormat supaya China itu tidak mengekspor barang-barang seperti sekarang ini, karena kalau ini diteruskan, maka perekonomian Negara adidaya tersebut akan ambruk dalam 5 tahun. Jawaban orang China waktu itu adalah : "Saya tidak ingin mengekspor barang saya, kalau rakyat Anda tidak ingin membeli barang saya". Dengan demikian mereka tidak saja mengusai pasar dengan ekspansi barang dalam jumlah besar, tapi juga ekspansi dalam pemenuhan kebutuhan konsumen, produk China rata-rata menjawab kebutuhan konsumen dalam harga yang lebih terjangkau. Tidak ada nilai jual lain kecuali ini.


Re upload dari millis unpadstaff, disadur dari berbagai sumber.

Jumat, 15 April 2011

Roseto

Malcolm Gladwell menulis buku yang berjudul ‘outliner’ yang mengisahkan cerita di balik kesuksesan orang-orang hebat yang tidak biasa. Pada cerita pengantarnya dikisahkan mengenai sebuah kota kecil di kawasan Pennsylvania yaitu Roseto. Roseto adalah sebuah kota kecil di sebelah timur Pennsylvania dimana penduduknya terdiri dari para imigran dari Italia.



Roseto diambil dari asal daerah mereka Roseto Valfortore yang terletak seratus mil tenggara kota Roma di pegunungan Apennie, provinsi Foggia, Italia. Pada awal abad 19 orang Roseto berbondong-bondong menuju Amerika. Di Negara ini mereka bermukim di Bangor, dan bekerja pada tambang batu. Mereka kemudian membuat pemukiman di sisi pegunungan batu yang bisa dicapai dari Bangor dengan berkendaraan kereta kuda melalui jalanan yang juram dan terjal. Pada awalnya mereka menamai kota kecil mereka New Italy, tetapi kemudian diubah menjadi Roseto yang dirasa lebih pantas mengingat asal mereka berasal dari desa yang sama di Italia.

Ada suatu hal yang menarik dari kota kecil ini yang diungkap oleh seorang dokter yang sedang menghabiskan liburannya di kawasan pertanian di Pennsylvania yang tidak jauh dari Roseto, Dr. Stewart Wolf. Sang dokter merasa takjub dengan kenyataan yang ditemukan di Roseto bahwa dia jarang menemukan penduduk Roseto di bawah usia 65 tahun yang mengidap penyakit jantung. Saat itu masih tahun 1950-an dimana berbagai obat penurun kolestrol dan pengobatan yang agresif untuk mencegah timbulnya penyakit jantung belum ditemukan. Saat itu serangan jantung sudah menjadi epidemic di Amerika Serikat dan menjadi penyebab kematian utama bagi kaum pria dibawah usia 50 tahun.

Beranjak dari fakta tersebut Dr. Wolf dibantu oleh beberapa murid dan rekannya melakukan penelitian. Dalam penelitian ini dikumpulkan sertifikat kematian dari penduduk Roseto. Analisis dilakukan terhadap penyebab kematian dan sejarah kesehatan dan geneakologi keluarga di kota itu. Sampling dilakukan pada contoh darah dan EKG yang dilakukan terhadap seluruh penduduk Roseto. Pengambilan sample dilakukan selama 4 minggu. Penelitian dilakukan pada tahun 1961. Hasil penelitian benar-benar mengejutkan.

Di Roseto, praktis tidak ada orang dibawah usia lima puluh tahun yang meninggal akibat serangan jantung atau tanda-tanda penyakit jantung. Untuk orang diatas 65 tahun, tingkat kematian karena jantung di Roseto sekitar ½ dari seluruh Amerika Serikat. Tingkat kematian karena berbagai penyebab di Rosseto sekitar 30-35 % di bawah dugaan.

Pada penelitiannya Wolf menyertakan rekannya seorang sosiolog bernama John Bruhn untuk menolongnya. Wawancara dilakukan oleh mahasiswa kedokteran dan mahasiswa pasca sarjana Sosiologi. Mereka berkunjung dari rumah kerumah dan melakukan wawancara dengan penduduk yang berusia minimal 21 tahun.

Tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, tidak ada kecanduan obat terlarang, dan sangat sedikit tindak kejahatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak ada catatan yang menderita luka lambung. Kesimpulannya adalah orang-orang tersebut meninggal akibat sudah uzur. Itu saja.

Dalam hal ini Dr. Wolf menemukan bahwa Roseto merupakan tempat di luar pengalaman manusia normal, dimana atuaran normal tidak ditemukan di tempat itu. Roseto adalah sebuah outlier.

Dr. wolf kemudian meneliti cara makan dari penduduk Roseto, dengan asumsi bahwa warga Roseto pasti menjalankan sejenis pengaturan makanan dari ‘dunia lama’ yang membuat mereka lebih sehat dari kebanyakan orang Amerika lainnya. Namun, hipotesanya ternyata keliru. Warga Roseto memasak makanan dengan lemak babi, bukan dengan minyak zaitun yang lebih sehat seperti yang biasa mereka lakukan sewaktu di Italia. Pizza di Italia dibuat dalam bentuk lempengan roti tipis dengan garam, minyak, dan mungkin tomat, ikan kering kecil, atau bawang. Pizza di Pensylvania dibuat dalam bentuk lempengan roti tebal dengan tambahan sosis, daging pepperoni, salami, ham, dan kadang-kadang telur. Kudapan yang manis-manis seperti biscotti dan taralli biasanya disimpan untuk hari Natal dan Paskah, di Roseto kudapan ini biasa dimakan kapanpun. Kemudian Dr. Wolf mendatangkan ahli diet untuk menganalisis kebiasaan konsumsi makanan warga Roseto. Mereka menemukan bahwa 41 % kalori yang mereka dapatkan berasal dari lemak. Warga di kota inipun jarang melakukan yoga dan berlari pagi sejauh enam mil di udara yang dingin secara konsisten. Warga di Pensylvania sebagian besar perokok berat dan banyak diantaranya bermasalah dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Pola makan dan olahraga ternyata tidak dapat menjelaskan fakta yang ditemukan.

Penelitian kemudian diarahkan kepada genetika. Warga Roseto adalah sekelompok orang yang sangat dekat yang berasal dari daerah yang sama di Italia. Dr. Wolf menduga bahwa warga berasal dari garis keturunan yang sama yang menyebabkan mereka dilindungi dari potensi penyakit tertentu. Untuk itu penelitian juga dilakukan terhadap anggota keluarga Roseto yang tinggal di luar Pensylvania. Ternyata tidak.

Dia kemudian menyelidiki ke tempat dimana warga Roseto tinggal. Apakah mungkin ada sesuatu di lingkungan pebukitan yang mereka diami di Pennsylvania timur yang bagus untuk kesehatan mereka? Dua kota yang terletak paling dekat dengan Roseto adalah Bangor, yang terletak di bawah bukit, dan Nazareth, beberapa mil jauhnya. Kedua kota ini memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan Roseto dan didiami oleh imigran Eropa yang sama pekerja kerasnya dengan warga Roseto. Dr.Wolf meneliti catatan kesehatan kedua kota tersebut. Untuk pria di atas 65 tahun, tingkat kematian akibat serangan jantung di Nazareth dan Bangor ternyata tiga kali lipat dibandingkan dengan Roseto. Dr Wolf mengalami kebuntuan lagi.

Dr. Wolf mulai menyadari bahwa rahasia di Roseto bukanlah pola makan atau olahraga atau gen atau lokasi. Rahasianya pasti di Roseto itu sendiri.

Saat Dr. Wolf dan rekannya berjalan-jalan di Roseto, mereka menemukan jawabnnya. Mereka melihat bagaimana warga Roseto saling berkunjung antara satu dengan yang lain, berhenti untuk mengobrol dalam bahasa Italia di jalanan, mereka juga sering memasak untuk tetangganya di halaman belakang rumahnya. Selain itu Dr. Wolf juga mempelajari tentang berbagai klan di keluarga besar yang menjadi penopang struktur sosial kota tersebut. Mereka melihat berapa banyak rumah yang ditinggali tiga generasi keluarga, dan seberapa besar rasa hormat yang didapat oleh para kakek nenek.

Warga Roseto mempunyai etos egaliter dalam hidup bermasyarakat, dimana orang-orang kaya tidak memamerkan kekayaannya, dan orang-orang yang kurang sukses menguburkan segala kegagalannya. Penerapan kebudayaan paesani dari Italia selatan ke pebukitan di Pennsylvania timur, penduduk Roseto telah menciptakan sebuah struktur sosial yang hebat dan protektif yang mampu melindungi mereka dari tekanan dunia modern. Warga Roseto hidup sehat karena tempat asal mereka, karena dunia yang telah diciptakan untuk mereka sendiri di kota kecil mungil di pebukitan.

Secara konvensional, menjalani kehidupan yang panjang sangat tergantung kepada siapa diri kita (maksudnya gen yang kita punya). Kehidupan tergantung kepada keputusan yang kita buat, hal ini meliputi : makanan apa yang kita makan, seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk berolah raga, dan seberapa banyak sistem medis merawat kita. Dalam hal ini tidak ada yang pernah memikirkan kesehatan yang melibatkan komunitas.

Dr. Wolf kemudian menyarankan kepada dunia kedokteran agar melihat kesehatan dan serangan jantung dalam cara yang baru. Dokter harus menyadarkan orang-orang untuk melihat keluar dari individu. Mereka harus memahami budaya yang menjadi bagian dari dirinya, dan siapa teman dan keluarganya, asal kota keluarganya. Mereka harus menghargai pemikiran bahwa nilai dari dunia yang kita alami dan orang-orang dari sekeliling kita memiliki efek yang sangat besar atas siapa diri kita.

Jumat, 08 April 2011

Salak Tasuk

Kamis, 31 Maret 2011. Cuaca cukup cerah, LV 18 melaju ke arah pos gabungan untuk selanjutnya masuk ke Desa Tasuk, setelah mendapatkan izin dari security. Desa Tasuk adalah perkampungan terdekat dengan lokasi pertambangan PT. Berau Coal. Desa Tasuk terdiri dari 3 (tiga) kampung, Kampung Tasuk Atas, Kampung Tasuk Tengah, dan Kampung Tasuk Bawah. Sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan bekerja di PT. Berau Coal.
Kami masuk dari Kampung Tasuk Atas, setelah hutan rawa, jalan berbelok ke kanan, terlihat sawah yang sudah siap panen. Sayang, sawah terendam karena selama 4 (empat) hari berturut-turut hujan turun, karena itu padi masih tampak hijau walaupun biji padi sudah terlihat bernas. Kiri kanan jalan diwarnai dengan suasana kampung dimana rumah penduduk berselang dengan kebun. Ada yang menarik disini, di beberapa titik terlihat kebun salak, sesuatu yang ganjil menurut pemikiranku. Namun, terlihat pohon salak tidak berbuah, hal ini selaras dengan kondisi kebun yang tidak terawat.
Perjalanan dilanjutkan menuju kampung Tasuk Tengah. Kami bertandang ke rumah Pa Ribut, seorang petani salak. Lahan yang dikelola seluas 1 Hektar, sebagian salak yang ditanam merupakan salak pondoh. Pa Ribut merupakan petani binaan dari Community Development PT Berau Coal. Diantara banyaknya jenis usaha tani yang dikembangkan di Desa Tasuk ini, Salak dinilai potensial untuk dikembangkan di Desa Tasuk.


Umumnya salak yang berkualitas ditemukan dikawasan lereng gunung seperti Sleman (lereng gunung Merapi) yang terkenal dengan salak pondoh, salak bali yang dikenal dengan salak gula pasir di lereng Gunung Agung, dan salak Manonjaya di kaki Gunung Galunggung Tasikmalaya. Di tinjau dari jenis tanahnya, ketiga tempat ini memiliki tipikal tanah yang dapat dipastikan subur, mengingat adanya pengaruh abu vulkanik. Salak atau nama latinnya Salacca edulis mempunyai syarat tumbuh sebagai berikut :

  1. Tanaman salak sesuai bila ditanam di daerah berzona iklim Aa bcd, Babc dan Cbc. A berarti jumlah bulan basah tinggi (11-12 bulan/tahun), B: 8-10 bulan/tahun dan C : 5-7 bulan/tahun.

  2. Salak akan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah. Berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi.

  3. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50-70%, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh.

  4. Suhu yang paling baik antara 20-30°C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi, tetapi tidak tahan genangan air.

  5. Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur dan lembab.

  6. Derajat keasaman tanah (pH) yang cocok untuk budidaya salak adalah 4,5 - 7,5.
  7. Kebun salak tidak tahan dengan genangan air. Untuk pertumbuhannya membutuhkan kelembaban tinggi.

  8. Tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100-500 m dpl.

Yang menarik disini adalah kebun salak Pa Ribut yang terletak di Kampung Tasuk Tengah dengan kondisi lingkungan yang jauh berbeda dengan tempat asal salak pondoh (Sleman) ataupun salak unggulan lainnya. Tanah-tanah disini memiliki fluktuasi genangan musiman, dengan jenis tanah yang tergolong Podzolik, genangan air akan memperburuk kondisi tanah sehingga drainase tanah menjadi buruk. Pa Ribut menyiasati kondisi ini dengan membuat saluran drainase berupa parit-parit di tengah kebunnya. Hal penting lainnya adalah umumnya salak menyukai tanah yang subur.
Desa Tasuk, seperti jenis tanah yang terdapat di Kalimantan termasuk jenis tanah yang kurang subur, ditandai dengan sifat fisik (warna yang cerah) dan jauh dari pengaruh abu vulkanik. Dalam hal ini Pa Ribut tidak melakukan ameliorasi ataupun pemupukan secara intensif. Ini sangat menarik.
“Saya pupuk dengan urea, kadang NPK, itupun jika ada sisa pupuk dari pemupukan tanaman lain”
Bermodal pengetahuan dan bibit salak pondoh yang didapat langsung dari Sleman, Yogyakarta Pa Ribut mulai mengembangkan salak pondoh di Desa Tasuk. Ilmu yang diperoleh mulai diterapkan. Harapannya dengan bibit yang sama, dan teknik budidaya yang sama makan hasilnya akan sama. Namun, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan dugaan.
“Saya pernah putus asa, karena pohon-pohon salaknya tidak berbuah dengan baik. Ingin rasanya saya tinggalkan kebun ini dan ikut bekerja di pertambangan seperti yang lain. Namun, saya sudah telanjur untuk mengembangkan salak”
Dengan ketekunannya Pa Ribut mulai memperbaiki cara budidaya salaknya. Misalnya, di Yogya anakan (tunas) tidak dibuang dan dibiarkan tumbuh, hal ini tidak berlaku di Desa Tasuk, anakan (tunas) baru yang terlalu banyak dapat menghambat produksi salak. Penjarangan harus dilakukan untuk menjamin adanya ruang untuk bunga salak. Jumlah dahan (tandan) yang dibiarkan di Yogja berjumlah 9 (dihitung dari daun termuda/teratas) di Tasuk, tandan yang dibiarkan harus lebih banyak, mencapai 12 tandan, hal ini untuk memberikan kesempatan bunga (bakal buah salak) yang lebih banyak pada bagian bawah.

Hal menarik lainnya adalah upaya mengawinkan bungan salak. Hal ini sedikit aneh mengingat salak adalah tanaman kleistogami atau berumah dua, dimana bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu pohon. Pembuahan sebenarnya bisa terjadi secara alami, tanpa bantuan manusia. Namun, saya berfikir disinilah letak keberhasilan Pa Ribut mengembangkan salak.

Salak pondoh di Desa Tasuk tidak akan berbuah dengan lebat dan manis tanpa proses pembuahan yang dibantu oleh Pa Ribut. Pa Ribut mengambil serbuk sari dari pohon jantan pilihan yang ditanam di tempat lain, yang kemudian dibubuhkan di atas putik bunga betina.

Kesabaran dan ketekunannya mempelajari dan mengembangkan budidaya salak ternyata berbuah manis. Manis dalam konteks sebenarnya dimana buah salak yang dihasilkan manis-manis, semanis salak pondoh, dan manis dalam arti berhasil, dimana salak-salaknya berbuah dengan lebat, satu pohon salak bisa menghasilkan 5-10 tandan, jika ditimbang minimal 4 Kg per pohon per panen. Salak tidak mempunyai musim. Pohon salak akan mulai berbuah 2-3 tahun setelah tanam, setelah itu panen dapat dilakukan 10 (sepuluh) hari sekali.Pemasaran buah salaknya sendiri ternyata tidak mengalami kesulitan.

“Salaknya ya dijual sendiri saja ke tetangga-tetangga, baru kalau berlebih sekarung dua karung saya jual ke Teluk (desa yang terletak disebrang Desa Tasuk)”
Dengan demikian potensi pasar masih terbuka luas, mengingat Salak Pa Ribut belum sampai memenuhi kebutuhan pasar. Namun, ketika ditanya apakah ingin mengembangkan kebun salaknya, Pa Ribut dan Istri mengeluh.
“Saya ngurus kebun segini aza sudah repot. Butuh waktu seharian untuk mengurus kebun ini, pemeliharaan kebun dilakukan setiap hari, jadi tidak ada waktu lagi untuk membuka lahan baru”
“Satu saja kendala saya, saya ga punya teman untuk mengelola kebun salak”
“Yang lain lebih memilih untuk bekerja di perusahaan”
Menarik sekali.
Dari pengalaman ini, saya banyak belajar bagaimana budidaya salak. Pa Ribut memulai usaha salak ini boleh dibilang dari nol, hal ini mengingat cara budidaya yang diterapkan merupakan inovasi yang ditemukan sendiri oleh Pa Ribut. Ketekunan Pa Ribut dalam mempelajari budidaya salak sepertinya menjadi kunci sukses keberhasilan budidaya salak pondoh di Desa Tasuk.
Keterbatasan sumberdaya fisik lahan dan lingkungan adalah tantangan untuk sebuah keberhasilan. Semoga keberhasilannya menjadi inspirasi untuk bagi petani lainnya.
Bagaimanapun, sesuatu yang dilakukan dengan kecintaan dan kesabaran akan berbuah manis.